
Mencoba menghidupkan kembali blog yang mati suri, hari ini saya mencoba menulis kembali. Sudah lebih dari setahun sejak tulisan terakhir saya di muat di blog ini.
Sesungguhnya saya rindu menulis. Tapi seringkali menulis jadi begitu menakutkan karena saya merasa harus menulis sebuah karya yang baik dan bermakna.
Tapi mari sejenak lupakan rasa takut dan rasa ragu terhadap diri sendiri itu. Terkadang rindu yang menggebu memang tidak bisa ditahan.
Sebetulnya banyak sekali hal yang dari dulu ingin saya tulis. Catatan perjalanan, ulasan buku, pergolakan batin, kegiatan-kegiatan seru, dan lain sebagainya. Namun seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, jari-jari ini selalu kelu.
Hari ini entah mengapa, saya gatal melihat laptop saya. Saya ingin menyentuh papan keyboardnya, bukan untuk membuat laporan bulanan kepada dewan komisaris atau menulis notulensi dewan direksi, tetapi ingin menuliskan kata-kata dalam blog saya yang sudah mati suri ini.
Daripada hilang niat karena terlalu banyak berpikir mengenai tema, saya memutuskan untuk menuliskan buku terakhir yang selesai saya baca. The Bell Jar, karya Sylvia Plath.
Sebetulnya sudah lama saya ingin membaca buku ini. Tepatnya, tiga tahun lalu. Suatu hari, salah seorang sahabat saya mengirimkan sebuah tautan ke sebuah website yang memuat ilustrasi yang merupakan kutipan cerita dalam novel ini.
“I saw my life branching out before me like the green fig tree in the story. From the tip of every branch, like a fat purple fig, a wonderful future beckoned and winked. One fig was a husband and a happy home and children, and another fig was a famous poet and another fig was a brilliant professor, and another fig was Ee Gee, the amazing editor, and another fig was Europe and Africa and South America, and another fig was Constantin and Socrates and Attila and a pack of other lovers with queer names and offbeat professions, and another fig was an Olympic lady crew champion, and beyond and above these figs were many more figs I couldn’t quite make out. I saw myself sitting in the crotch of this fig tree, starving to death, just because I couldn’t make up my mind which of the figs I would choose. I wanted each and every one of them, but choosing one meant losing all the rest, and, as I sat there, unable to decide, the figs began to wrinkle and go black, and, one by one, they plopped to the ground at my feet.”
The Bell Jar – Sylvia Plath
Ketika membaca kutipan ini, aliran rasa takut mengalir deras di dalam diri saya. Saya bisa merasakan kegalauan yang dialami oleh suara dalam kutipan itu. Tidak memiliki pilihan memang merupakan sesuatu yang menyedihkan, tapi memiliki pilihan-pilihan dan kelu dalam keraguan juga merupakan sesuatu yang menakutkan.
Tiga tahun lalu saya begitu takut dengan ketidakpastian. Sekarang juga masih, sebetulnya, tapi saya sudah mulai bisa pasrah dan berserah.
Ketika membaca kutipan ini, saya sangat tergerak, sehingga sangat ingin membaca buku ini secara utuh. Oleh karenanya, ketika menemukan buku ini di toko, saya langsung tanpa ba-bi-bu langsung membelinya. Tetapi, setelah melakukan riset singkat, saya mengurungkan niat saya untuk membacanya. Kenapa? Karena konon katanya buku ini berbicara tentang depresi dan Sylvia Plath, penulisnya memutuskan untuk bunuh diri hanya beberapa bulan setelah menyelesaikan manuskrip The Bell Jar.
Saya berusia 27 tahun ketika itu, dan saya takut dengan mitos 27 Club. Saya tidak berani dekat-dekat dengan kelompok orang yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya (atau berakhir hidupnya) di usia 27 tahun.
Jadi, saya mengonggokkan buku ini begitu saja selama tiga tahun terakhir.
Bulan lalu, klub buku saya, Baca. Rasa. Dengar memutuskan bahwa di bulan April, tema bulanan kami adalah “Women in Literature”. Mencoba menilik koleksi buku-buku yang ada di rak saya, buku bersampul putih ini, terasa memanggil-manggil saya untuk diambil dan kemudian di baca.
Sejenak saya sempat ragu, tapi akhirnya bulat saya memutuskan untuk membacanya.
The Bell Jar bercerita tentang kehidupan seorang gadis bernama Esther Greenwood yang tengah menjalani kerja magang di sebuah majalah ternama di New York. Meskipun bekerja di majalah dan lagi di New York, tempat semua orang ingin hidup dan berkarir, Esther tidak merasakan antusiasme seperti yang sebelumnya dia pikir akan dia rasakan.
Selepas magang dan pulang ke kampung halamannya, Esther yang merupakan murid berprestasi, mendapati dirinya gagal mendapatkan beasiswa untuk kursus menulis yang sangat diharapkannya. Rentetan kejadian inilah yang mengawali kelimbungan Esther.
The Bell Jar merupakan buku yang ditulis dengan sangat baik. Banyak pikiran-pikiran di dalam kepala Esther yang membuat kita merasa dekat dan berempati dengan apa yang dia rasakan. Tidak hanya itu, banyak hal yang dipikirkan dan dirasakan Esther juga pernah saya pikirkan dan rasakan.
Misalnya tentang ketidakadilan terkait gender yang dirasakan Esther ketika ia mendapati bahwa tidak ada konsekuensi apapun bagi teman dekatnya, Buddy ketika ia tidak lagi “bersih” karena dia adalah laki-laki. Sementara, sebagai perempuan, Esther dihantui konsekuensi gunjungan sosial, harus menikah, hamil, menjadi istri dan ibu, dan mungkin kehilangan hal-hal lain yang diimpikannya jika ia memutuskan untuk terlalu intim dengan pasangannya.
Hal lain yang begitu menarik buat saya dari buku ini adalah bagaimana buku ini menceritakan dengan ringan kejadian-kejadian yang pada akhirnya berujung pada depresi dan masalah kesehatan mental.
Selama ini, persepsi saya tentang kesehatan mental itu mungkin seperti kanker. Datang tiba-tiba karena sesuatu yang besar dan traumatis terjadi. Tetapi apa yang dialami dan dirasakan Esther, sebetulnya adalah hal-hal yang lumrah terjadi dan bisa dialami oleh siapa saja.
Tidak hanya itu, dalam buku ini juga dijelaskan bahwa apa yang kita rasakan hari ini, bisa saja merupakan reaksi dari hal-hal terjadi bertahun-tahun yang lalu tanpa kita sadari.
Seperti diceritakan dalam buku ini, dalam pergolakan pikiran dan perasaannya, Esther tiba-tiba menyadari, bahwa ketika ayahnya meninggal bertahun-tahun lalu, Esther sama sekali tidak menangis dan tidak merasakan apa-apa.
Dari sinilah konsep mental hygiene itu menjadi begitu penting. Saya jadi teringat sebuah Ted Talk dari Guy Winch tentang pentingnya menjaga kesehatan mental. Dia berargumen bahwa masyarakat seringkali meng-anak-tirikan kesehatan mental jika dibandingkan dengan kesehatan fisik.
Sebagai contoh, dari kecil kita sudah diajarkan bagaimana menjaga kesehatan fisik kita, mulai dari mandi setiap hari, menggosok gigi, makan-makanan yang baik, dan lain sebagainya. Tapi ketika kita tumbuh besar, kita tidak pernah diajari cara menjaga diri dari kesepian, kekecewaan, dan lain sebagainya.
Tidak hanya itu, ketika tubuh kita sakit, misalnya kita terkena flu, orang-orang akan paham bahwa penyakit itu bisa terjadi karena adanya bakteri, pengaruh genetik, atau kondisi lingkungan yang sedang tidak bersahabat, sehingga tidak ada yang menyalahkan kita. Sementara jika kita mengalami gangguan kesehatan mental, seringkali orang akan mengatakan kita manja dan menganggap masalah kesehatan mental itu adalah kondisi yang disebabkan oleh kita sendiri.
Ketika kaki kita berdarah dan terluka, orang akan langsung memberikan pertolongan. Tapi ketika kita memiliki gangguan kesehatan mental, seringkali masyarakat mendiamkannya saja, karena merasa itu adalah masalah personal orang yang bersangkutan.
Hal ini juga yang menarik dari The Bell Jar. Setelah mengalami pergumulan yang cukup panjang dengan rasa ragu, kelu, bingung, kecewa, tidak percaya, dan resah yang dialaminya, setelah mencari “pertolongan” ke sana ke mari, setelah memberanikan diri untuk menghabisi nyawanya sendiri, Esther “selamat” karena perawatan seorang dokter yang ditemuinya.
Kalau boleh saya intisarikan, tumbuhnya rasa percaya adalah sumber kesembuhan Esther.
Sebagai orang yang pernah (atau masih) memiliki trust issue, The Bell Jar yang konon katanya sangat gelap dan membuat depresi, bagi saya malah memberikan harapan.
Seperti flu, maag atau penyakit lainnya, gangguan kesehatan mental dapat menimpa siapa saja. Yang terpenting adalah kita memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan tubuh dan pikiran kita secara adil, sehingga kita siap ketika “penyakit” tersebut datang menimpa kita.
Olah raga, olah rasa, disiplin dalam asupan makanan dan pikiran, terhubung dan bersahabat baik dengan setiap emosi yang kita rasakan, serta percaya, sabar, tabah, ikhlas, dan berserah. Mungkin ini kunci menjadi sehat. Jasmani dan rohani.
Mengenai kutipan The Fig Tree dalam buku ini, saya percaya pada qada’ dan qadar. Bagi saya konsep keimanan ini bisa dijelaskan dengan indah dalam Teori Retro-causality. Bukan karena orang tua saya bertemu maka saya lahir, tetapi karena saya harus lahir, maka kedua orang tua saya harus bertemu.
Jadi apapun pilihan yang ada di depan kita; dan pilihan apapun yang akhirnya kita pilih, semua sudah tertulis dan harus terjadi. Mungkin pemahaman dan kepercayaan ini bisa dijadikan bekal untuk memilih salah satu buah di Fig Tree, sehingga kita tidak kelu dan kelaparan karena tidak bisa mengambil keputusan.