The Bell Jar oleh Sylvia Plath

Mencoba menghidupkan kembali blog yang mati suri, hari ini saya mencoba menulis kembali. Sudah lebih dari setahun sejak tulisan terakhir saya di muat di blog ini.

Sesungguhnya saya rindu menulis. Tapi seringkali menulis jadi begitu menakutkan karena saya merasa harus menulis sebuah karya yang baik dan bermakna.

Tapi mari sejenak lupakan rasa takut dan rasa ragu terhadap diri sendiri itu. Terkadang rindu yang menggebu memang tidak bisa ditahan.

Sebetulnya banyak sekali hal yang dari dulu ingin saya tulis. Catatan perjalanan, ulasan buku, pergolakan batin, kegiatan-kegiatan seru, dan lain sebagainya. Namun seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, jari-jari ini selalu kelu.

Hari ini entah mengapa, saya gatal melihat laptop saya. Saya ingin menyentuh papan keyboardnya, bukan untuk membuat laporan bulanan kepada dewan komisaris atau menulis notulensi dewan direksi, tetapi ingin menuliskan kata-kata dalam blog saya yang sudah mati suri ini.

Daripada hilang niat karena terlalu banyak berpikir mengenai tema, saya memutuskan untuk menuliskan buku terakhir yang selesai saya baca. The Bell Jar, karya Sylvia Plath.

Sebetulnya sudah lama saya ingin membaca buku ini. Tepatnya, tiga tahun lalu. Suatu hari, salah seorang sahabat saya mengirimkan sebuah tautan ke sebuah website yang memuat ilustrasi yang merupakan kutipan cerita dalam novel ini.


“I saw my life branching out before me like the green fig tree in the story. From the tip of every branch, like a fat purple fig, a wonderful future beckoned and winked. One fig was a husband and a happy home and children, and another fig was a famous poet and another fig was a brilliant professor, and another fig was Ee Gee, the amazing editor, and another fig was Europe and Africa and South America, and another fig was Constantin and Socrates and Attila and a pack of other lovers with queer names and offbeat professions, and another fig was an Olympic lady crew champion, and beyond and above these figs were many more figs I couldn’t quite make out. I saw myself sitting in the crotch of this fig tree, starving to death, just because I couldn’t make up my mind which of the figs I would choose. I wanted each and every one of them, but choosing one meant losing all the rest, and, as I sat there, unable to decide, the figs began to wrinkle and go black, and, one by one, they plopped to the ground at my feet.”

The Bell Jar – Sylvia Plath

Ketika membaca kutipan ini, aliran rasa takut mengalir deras di dalam diri saya. Saya bisa merasakan kegalauan yang dialami oleh suara dalam kutipan itu. Tidak memiliki pilihan memang merupakan sesuatu yang menyedihkan, tapi memiliki pilihan-pilihan dan kelu dalam keraguan juga merupakan sesuatu yang menakutkan.

Tiga tahun lalu saya begitu takut dengan ketidakpastian. Sekarang juga masih, sebetulnya, tapi saya sudah mulai bisa pasrah dan berserah.

Ketika membaca kutipan ini, saya sangat tergerak, sehingga sangat ingin membaca buku ini secara utuh. Oleh karenanya, ketika menemukan buku ini di toko, saya langsung tanpa ba-bi-bu langsung membelinya. Tetapi, setelah melakukan riset singkat, saya mengurungkan niat saya untuk membacanya. Kenapa? Karena konon katanya buku ini berbicara tentang depresi dan Sylvia Plath, penulisnya memutuskan untuk bunuh diri hanya beberapa bulan setelah menyelesaikan manuskrip The Bell Jar.

Saya berusia 27 tahun ketika itu, dan saya takut dengan mitos 27 Club. Saya tidak berani dekat-dekat dengan kelompok orang yang memutuskan untuk mengakhiri hidupnya (atau berakhir hidupnya) di usia 27 tahun.

Jadi, saya mengonggokkan buku ini begitu saja selama tiga tahun terakhir.

Bulan lalu, klub buku saya, Baca. Rasa. Dengar memutuskan bahwa di bulan April, tema bulanan kami adalah “Women in Literature”. Mencoba menilik koleksi buku-buku yang ada di rak saya, buku bersampul putih ini, terasa memanggil-manggil saya untuk diambil dan kemudian di baca.

Sejenak saya sempat ragu, tapi akhirnya bulat saya memutuskan untuk membacanya.

The Bell Jar bercerita tentang kehidupan seorang gadis bernama Esther Greenwood yang tengah menjalani kerja magang di sebuah majalah ternama di New York. Meskipun bekerja di majalah dan lagi di New York, tempat semua orang ingin hidup dan berkarir, Esther tidak merasakan antusiasme seperti yang sebelumnya dia pikir akan dia rasakan.

Selepas magang dan pulang ke kampung halamannya, Esther yang merupakan murid berprestasi, mendapati dirinya gagal mendapatkan beasiswa untuk kursus menulis yang sangat diharapkannya. Rentetan kejadian inilah yang mengawali kelimbungan Esther.

The Bell Jar merupakan buku yang ditulis dengan sangat baik. Banyak pikiran-pikiran di dalam kepala Esther yang membuat kita merasa dekat dan berempati dengan apa yang dia rasakan. Tidak hanya itu, banyak hal yang dipikirkan dan dirasakan Esther juga pernah saya pikirkan dan rasakan.

Misalnya tentang ketidakadilan terkait gender yang dirasakan Esther ketika ia mendapati bahwa tidak ada konsekuensi apapun bagi teman dekatnya, Buddy ketika ia tidak lagi “bersih” karena dia adalah laki-laki. Sementara, sebagai perempuan, Esther dihantui konsekuensi gunjungan sosial, harus menikah, hamil, menjadi istri dan ibu, dan mungkin kehilangan hal-hal lain yang diimpikannya jika ia memutuskan untuk terlalu intim dengan pasangannya.

Hal lain yang begitu menarik buat saya dari buku ini adalah bagaimana buku ini menceritakan dengan ringan kejadian-kejadian yang pada akhirnya berujung pada depresi dan masalah kesehatan mental.

Selama ini, persepsi saya tentang kesehatan mental itu mungkin seperti kanker. Datang tiba-tiba karena sesuatu yang besar dan traumatis terjadi. Tetapi apa yang dialami dan dirasakan Esther, sebetulnya adalah hal-hal yang lumrah terjadi dan bisa dialami oleh siapa saja.

Tidak hanya itu, dalam buku ini juga dijelaskan bahwa apa yang kita rasakan hari ini, bisa saja merupakan reaksi dari hal-hal terjadi bertahun-tahun yang lalu tanpa kita sadari.

Seperti diceritakan dalam buku ini, dalam pergolakan pikiran dan perasaannya, Esther tiba-tiba menyadari, bahwa ketika ayahnya meninggal bertahun-tahun lalu, Esther sama sekali tidak menangis dan tidak merasakan apa-apa.

Dari sinilah konsep mental hygiene itu menjadi begitu penting. Saya jadi teringat sebuah Ted Talk dari Guy Winch tentang pentingnya menjaga kesehatan mental. Dia berargumen bahwa masyarakat seringkali meng-anak-tirikan kesehatan mental jika dibandingkan dengan kesehatan fisik.

Sebagai contoh, dari kecil kita sudah diajarkan bagaimana menjaga kesehatan fisik kita, mulai dari mandi setiap hari, menggosok gigi, makan-makanan yang baik, dan lain sebagainya. Tapi ketika kita tumbuh besar, kita tidak pernah diajari cara menjaga diri dari kesepian, kekecewaan, dan lain sebagainya.

Tidak hanya itu, ketika tubuh kita sakit, misalnya kita terkena flu, orang-orang akan paham bahwa penyakit itu bisa terjadi karena adanya bakteri, pengaruh genetik, atau kondisi lingkungan yang sedang tidak bersahabat, sehingga tidak ada yang menyalahkan kita. Sementara jika kita mengalami gangguan kesehatan mental, seringkali orang akan mengatakan kita manja dan menganggap masalah kesehatan mental itu adalah kondisi yang disebabkan oleh kita sendiri.

Ketika kaki kita berdarah dan terluka, orang akan langsung memberikan pertolongan. Tapi ketika kita memiliki gangguan kesehatan mental, seringkali masyarakat mendiamkannya saja, karena merasa itu adalah masalah personal orang yang bersangkutan.

Hal ini juga yang menarik dari The Bell Jar. Setelah mengalami pergumulan yang cukup panjang dengan rasa ragu, kelu, bingung, kecewa, tidak percaya, dan resah yang dialaminya, setelah mencari “pertolongan” ke sana ke mari, setelah memberanikan diri untuk menghabisi nyawanya sendiri, Esther “selamat” karena perawatan seorang dokter yang ditemuinya.

Kalau boleh saya intisarikan, tumbuhnya rasa percaya adalah sumber kesembuhan Esther.

Sebagai orang yang pernah (atau masih) memiliki trust issue, The Bell Jar yang konon katanya sangat gelap dan membuat depresi, bagi saya malah memberikan harapan.

Seperti flu, maag atau penyakit lainnya, gangguan kesehatan mental dapat menimpa siapa saja. Yang terpenting adalah kita memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga kesehatan tubuh dan pikiran kita secara adil, sehingga kita siap ketika “penyakit” tersebut datang menimpa kita.

Olah raga, olah rasa, disiplin dalam asupan makanan dan pikiran, terhubung dan bersahabat baik dengan setiap emosi yang kita rasakan, serta percaya, sabar, tabah, ikhlas, dan berserah. Mungkin ini kunci menjadi sehat. Jasmani dan rohani.

Mengenai kutipan The Fig Tree dalam buku ini, saya percaya pada qada’ dan qadar. Bagi saya konsep keimanan ini bisa dijelaskan dengan indah dalam Teori Retro-causality. Bukan karena orang tua saya bertemu maka saya lahir, tetapi karena saya harus lahir, maka kedua orang tua saya harus bertemu.

Jadi apapun pilihan yang ada di depan kita; dan pilihan apapun yang akhirnya kita pilih, semua sudah tertulis dan harus terjadi. Mungkin pemahaman dan kepercayaan ini bisa dijadikan bekal untuk memilih salah satu buah di Fig Tree, sehingga kita tidak kelu dan kelaparan karena tidak bisa mengambil keputusan.

Festival Cerita Jakarta 2017

Saya teringat perjalanan saya di pergantian tahun 2016 ke 2017. Di pelataran Candi Borobudur, menunggu tengah malam, saya berdiskusi dengan teman-teman saya Haruno Subiyanto Fariz Achmad Purnomosidhi Fitri Putranti M. Rendy Haruman mengenai harapan di tahun 2017. Setelah saya memaparkan segala kekhawatiran saya tentang berbagai macam hal dalam hidup ini, sebuah kalimat sederhana dilontarkan oleh teman-teman saya, menjadi penguat saya dalam mengisi tahun 2017 ini, “Ina harus berani!”

Ina harus berani.

Kalimat sederhana inilah yang membuat 2017 menjadi begitu luar biasa buat saya. Bermodalkan keberanian (atau kenekadan), saya mencoba banyak hal di tahun ini. Ada yang berbuah manis, banyak juga yang tidak berjalan lancar. Ada yang harus ditunda, ada yang perlu banyak perbaikan. Tapi buat saya, semua hal di 2017 adalah serangkaian perjalanan tanpa sesal yang membuahkan pembelajaran yang luar biasa.

Dan semua ini karena sebuah kalimat sederhana, “Ina harus berani!”

Dari semua hal yang terjadi di tahun 2017, salah satu hal yang paling berkesan bagi saya adalah sebuah acara di penghujung tahun yang bertajuk Festival Cerita Jakarta.

03

Festival ini adalah muara pertama dari mimpi-mimpi yang saya dan sahabat-sahabat saya Ira Wulandari Warganegara dan Amirah Kaca Sumarto rintis sejak tahun 2014 bersama Rumah Cerita. Ini adalah acara besar pertama dari Rumah Cerita sejak kelahirannya dulu. Diawali dengan mimpi liar dan kenekadan, Rumah Cerita terus berjalan, kadang cepat kadang lambat, kadang jatuh, kadang berhenti sejenak untuk kemudian berlari lagi.

Dengan tagline “Dream a little dream of you”, di festival ini saya berharap semua orang berani bermimpi dan menyuarakan mimpinya.

05

Ketika mimpi bertemu dengan keberanian, rasanya semesta senantiasa mendukung. Tidak terhitung berapa banyak bantuan yang diterima Rumah Cerita secara tidak terduga dari berbagai pihak, termasuk dalam keberhasilan Festival Cerita Jakarta ini. Dari teman-teman terdekat, dari kenalan, bahkan dari orang-orang yang belum pernah saya temui sebelumnya. Alhamdulillahi rabbil alamin, puji dan syukur kepada Allah SWT.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua sahabat, kerabat, dan pihak-pihak luar biasa yang mendukung Rumah Cerita dan Festival Cerita Jakarta.

Terima kasih kepada semua pemimpi dan pemberani yang menularkan semangat terus mencoba dan pantang menyerah sampai akhirnya bisa tanpa perlu menjadi sempurna.

Terima kasih.

04

Apa mantra di tahun 2018? Setelah bermimpi dan berani, agaknya tahun ini saya ingin belajar percaya dan berserah. Berpikir positif terhadap segala sesuatu. Berdamai dengan ketidakpastian. Melepaskan kuasa atas hal-hal yang di luar kuasa kita.

Everything is happening exactly as it should be. Just accept, and soon we will understand why.

Have faith, Ina!

02
Continue reading “Festival Cerita Jakarta 2017”

Anxiety is a Disease of Doubt

Last night, I was just babbling to my partner about things that I knew the answer already, but still I was overthinking about it. I believe I have this anxiety disorder when it comes to relationship and commitment. I want to be in a steady and functional relationship so much, but in the same time, I am so scared to be in it. And I am even more scared to screw it.

Then I read this article: When You Have Anxiety and Your Partner Doesn’t


Well it is a bit of relief to know that I am not the only one who has this kind of condition.

And I am so lucky that my partner can understand and accept my condition.

Nasi Kuning Emak

“Emak sehat?” tanyaku.

“Inggih” jawab Emak sambil tersenyum sopan.

“Kerasan di kampung, Mak?” tanyaku lagi.

“Inggih,” jawab Emak sambil mengangguk sopan.

Kupandangi wanita tua di hadapanku dengan alis berkerut keheranan. Wanita ini memang Emak. Namun entah mengapa aku merasa asing dan tidak mengenalinya lagi.

“Emak-e eling mboten karo kulo?” Apakah Emak ingat pada saya, tanyaku.

Emak memandangiku selama beberapa detik, lalu menggeleng perlahan.

“Mboten,” jawabnya lalu menunduk malu.

*

“Selamat ulang tahun, ndok!” Emak menghambur ke kamarku yang masih gelap dengan sepiring nasi kuning lengkap dengan ayam goreng serundeng, telur dadar yang diiris-iris tipis, bihun, perkedel, dan irisan timun. Jam lima pagi, matahari belum juga muncul, namun hidangan mewah ini setiap tahun selalu membangunkanku di hari ulang tahunku.

“Terima kasih, Mak!” seruku tersenyum, berusaha membuka mata. “Mak-e bangun jam berapa?” tanyaku sambil menyambut piring dari tangannya dan memeluknya.

“Yo wis kaet mau!” Jawab Emak dengan gaya khas nya yang ketus. “Ayo cepet tangi, solat, ndang siap-siap sekolah!”

Aku mengangguk sambil tersenyum. Kuhabiskan nasi kuning lezat di hadapanku dan kujalani aktivitas pagi hariku, layaknya hari-hari normal lainnya, bersiap-siap pergi ke sekolah.

Telepon genggamku berbunyi.

“Sayaaaaaang, selamat ulang tahun ya!” Ibu menelpon.

“Terima kasih, Bu!” jawabku. “Uda solat? Uda mandi? Mau kado ulang tahun apa?” Ibu mengajukan serentetan pertanyaan secara berturut-turut.

“Sudah, Bu,” jawabku. “Umm, apa aja deh kadonya. Terserah ibu aja!”

“Yaudah, nanti Ibu beliin kado yang bagus. Baik-baik di rumah ya, sayang. Ibu pulang minggu depan!” tutur Ibu.

“Iya, terima kasih ya, Bu. Hati-hati di sana!”

Kuambil ranselku dan segera aku turun untuk berangkat sekolah.

“Ojok mulih bengi, yo! Engko sego kuninge ora ono sing mangan!” Jangan pulang malam, nanti nasi kuningnya tidak ada yang memakan, Emak menasihati sambil membawakan aku bekal.

“Iya. Berangkat dulu ya, Mak!” seruku sambil bergegas pergi.

Kuberjalan menyusuri jalanan kompleks rumahku yang masih sepi. Orang-orang, tetangga-tetanggaku mungkin masih sibuk mandi dan sarapan bersama keluarganya masing-masing. Atau mungkin masih ada yang tertidur pulas di tempat tidurnya. Tinggal di ujung tenggara kota Bandung, dan bersekolah di daerah Bandung utara, memiliki konsekuensi tersendiri. Aku harus bangun ekstra pagi setiap harinya, agar tidak harus berebut angkutan kota dengan para pelajar lain serta mengurangi resiko dihukum guru piket karena datang terlambat.

Jer basuki mawa bea. Setiap kesuksesan dan keberhasilan membutuhkan pengorbanan. Begitu kata Emak, setiap kali aku mengeluh karena harus bangun pagi-pagi.

Kubuka tas sekolahku dan kuambil buku Totto-Chan karya Tetsuko Kuroyanagi yang kemarin baru saja kupinjam dari taman bacaan langgananku. Salah satu hal yang kusyukuri dari rumahku yang jauh dari sekolah adalah aku jadi memiliki waktu untuk membaca. Perjalanan yang panjang, serta sepinya rumahku dapat membuatku dapat menamatkan 5 hingga 6 novel setiap minggunya.

“Pagi, Pak!” sapaku pada Pak Sum, satpam sekolahku yang sudah duduk rapi di posnya.

“Pagi, Neng!” jawab Pak Sum sambil tersenyum.

“Pagi terus euy, si Neng datangnya!”

“Jauh atuh Pak, rumah saya. Kalau kesiangan sedikit, nanti dihukum sama Pak Amin!” seruku sambil tertawa.

Pak Sum membalas tawaku dengan tawa renyah yang sopan.

Kubuka pintu kelasku, masih kosong, dan kududuk di bangkuku. Baris ketiga dari depan, kolom kedua dari jendela. Kucek semua buku pelajaranku dengan jadwal harian yang menempel di agendaku. Saat semua buku, catatan, latihan, paket, LKS, dan semua tugas untuk hari ini sudah lengkap, kembali kubenamkan diriku dalam kalimat-kalimat di buku yang sedang kubaca.

“Hei!” Seseorang mengejutkanku dengan suara lantangnya dan mengebalikanku ke dunia nyata setelah menarik paksa buku yang sedang kubaca dari tanganku.

Rupanya Arya, sahabatku. Ia berdiri di hadapanku dan menyodorkan bungkusan kotak pipih kepadaku. “Buat kamu!” serunya.

“Dalam rangka?” tanyaku, pura-pura polos.

“Aku inget dong ulang tahun kamu!” jawab Arya bangga. “Selamat ulang tahun ya, Ras!” seru Arya sambil menepuk-nepuk pipiku.

“Ini apa isinya?” tanyaku. “Mixtape lagi ya?” Arya tersenyum lebar, “Huuuu, ngga kreatif! Ngga modal!”

“Kamu kan sudah punya semuanya, Ras!” seru Arya.

“Kata siapa?” cibirku.

“Aku nanti ke rumah ya! Ngabisin nasi kuning Emak. Sayang kalau ngga ada yang makan!”

Aku tersenyum. Aku teringat kejadian dua tahun lalu. Saat aku baru mengenal Arya. Saat perang dingin di rumahku baru dimulai. Aku yang masih naif, masih berpikir bahwa keluarga yang berfungsi normal dan bahagia seperti iklan-iklan mie instan di televisi itu benar-benar ada, benar-benar terkejut, marah, dan kecewa karena sikap orang tuaku.

Tidak cukup hanya berlomba-lomba pulang paling malam, kemudian saling berteriak tertahan dari dalam kamar, berpura-pura tidak saling mengenal dan tidak terjadi apa-apa di depanku, mereka juga benar-benar melupakan ulang tahunku.

Aku dengan segala kebodohan dan kenaifan anak berusia lima belas tahun, menangis di pojok aula kosong selepas jam pulang sekolah. Arya yang kebetulan melewati aula karena LKS nya tertinggal di kelas, mendengar isakanku dan menghampiriku.

Tanpa memedulikan rasa malu dan harga diri, ketika Arya bertanya, “kenapa menangis?” aku mulai meraung dan menumpahkan semua kesedihan, kemarahan, dan kekesalanku padanya. Pada Arya yang pada waktu itu belum aku kenal sama sekali. Setelah badai emosiku mulai reda, sekitar 40 menit setelahnya, Arya memaksa mengantarkanku pulang, dan disitulah pertama kalinya ia merasakan nasi kuning Emak.

“Pokoknya, tiap kamu ulang tahun, aku pasti datang ke rumahmu!” kata Arya dengan mulut penuh. “Ini nasi kuning paling enak yang pernah aku makan!” Dan Arya selalu menepati janjinya.

*

“Raras, duduk sini sebentar, sayang!” panggil Ibu suatu hari. Dua hari setelah ujian seleksi penerimaan mahasiswa baru. Aku duduk dan menghela nafas. Menyambut datangnya pembicaraan yang kutahu cepat atau lambat akan datang juga.

“Sebelumnya Ibu dan Ayah ingin meminta maaf kepada kamu karena harus ikut merasakan permasalahan yang terjadi di antara kami. Dan satu hal yang perlu kamu tahu, apapun yang terjadi kami tetaplah orang tuamu dan kami sangatlah menyayangimu. Tidak ada yang berubah tentang hal itu,” Ayah mencoba membuka penjelasannya.

Ibu menunduk terdiam menahan tetesan air matanya. Aku memandangi keduanya dengan ekspresi datar. Mencari kesamaan realita yang sedang terjadi di hadapanku dengan imajinasi mengenai hal ini yang sudah berkali-kali kuputar di kepalaku.

“Ayah dan Ibu memutuskan untuk berpisah. Ayah harus pindah ke Tokyo dan Ibu akan kuliah lagi di Newcastle,” ujar Ayah dengan nada datar bijaksana yang dibuat-buat.

“Ayah dan Ibu percaya kalau kamu sudah dewasa, sudah bisa menentukan sendiri masa depan yang kamu inginkan. Ayah dan Ibu sepenuhnya akan mendukung apapun keputusan kamu,” tambah Ayah.

Aku berdiri, “Raras mengerti,” ujarku dengan datar dan beranjak pergi dari ruang tamu.

Ibu dan Ayah sepertinya terbenam dalam rasa bersalah mereka sehingga tidak ada yang berani menyusulku.

Aku mengurung diri di kamar. Menunggu terdengarnya dua suara mobil yang dinyalakan secara bergantian, seperti yang biasanya terjadi jika kebetulan orang tuaku berada di rumah pada waktu yang bersamaan.

Aku mengetuk pintu kamar Emak. Emak membuka pintu dengan mata menyipit, rambut terurai yang jarang sekali kulihat, serta daster tidurnya.

Opo o, Ndok?” tanya Emak.

Tidak kujawab pertanyaan Emak dan langsungku berlari menuju tempat tidurnya. Aku berbaring melingkar tanpa bersuara sedikitpun. Emak duduk di sampingku dan mengelus-elus rambutku dan menyenandungkan lagu Ande Ande Lumut, lagu yang selalu Emak nyanyikan sejak aku kecil dulu.

“Emak nanti ikut Ibu?” tanyaku akhirnya. Emak adalah pengasuh Ibuku yang sudah bekerja untuk kakek dan nenekku sejak Ibuku berusia enam tahun. Emak terus merawat ibu, hingga ibu dewasa dan kemudian merawatku hingga saat ini.

Yo ora tho, Ndok. Moso pantes Emakmu iki lungo ning Nginggris!” Tentu saja tidak, mana berani aku pergi ke Inggris. jawab Emak. Aku bangkit dan duduk.

“Terus Emak tinggal di mana?” tanyaku penuh kejut dan tanya.

Aku sudah memprediksi perpisahan orang tuaku. Dan Aku sudah tahu bahwa Ibu dan Ayah akan pergi mengejar mimpi dan tanggung jawabnya masing-masing. Kemana mereka pergi, aku tidak peduli. Tapi sebelum ini aku tidak pernah memikirkan ke mana Emak akan pergi. Aku terlalu sibuk memikirkan ke mana aku akan pergi jika perpisahan orang tuaku pada akhirnya terjadi.

Di kepalaku sudah terancang beberapa alternatif kemana aku harus menempel menjadi parasit jika orang tuaku berpisah. Semua pro dan kontra sudah aku pikirkan jika Aku tinggal bersama Ibu, bersama Ayah, bersama keluarga tante, keluarga bude, tinggal bersama nenek, dan berbagai alternatif lainnya. Aku terus menimbang-nimbang segala baik buruknya, hingga akhirnya memutuskan untuk tinggal sendiri. Menempuh empat tahun kuliah sendiri, kemudian segera bekerja dan hidup mandiri. Semua sudah kupikirkan, tapi tidak dengan keberadaan Emak.

Aku merasa sangat sedih. Aku merasa menjadi manusia yang sangat egois. Manusia seperti Ayah dan Ibu, yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Manusia yang kuharap tidak akan pernah menjadi diriku. Tapi ternyata aku sama egoisnya. Sama jahatnya.

Yo mulih ning kampung!” jawab Emak santai. “Aku arepe angon bebek!” Ya pulang kampung, aku mau beternak bebek.

Aku menangis. Menangis terisak. Padahal sebelumnya aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menangis lagi. Setidaknya tidak untuk masalah perpisahan orang tuaku. Karena air mataku sudah kering. Dan aku sudah bosan. Tapi akhirnya aku mengingkari janjiku, dan kembali menangis.

Aku kangen kampung, Ndok. Aku uwis puas ngalor ngidul. Saiki giliranmu, Ndok!” Aku merindukan kampung. Aku sudah puas pergi kesana-kemari. Sekarang giliranmu. Emak mencoba menghibur.

*

Kudorong koper besarku dengan senyum mengembang. Akhirnya aku menginjakkan kaki kembali di negeri ini. Pulang setelah empat tahun menuntut ilmu di ujung selatan dunia.

“Raras!” Arya berlari menghambur ke arahku. Kutinggalkan koper besarku dan berlari menyambutnya.

“Kangeeeeeeennnn!” seruku.

Gagal diterima di perguruan tinggi negeri, aku memutuskan untuk kuliah di Melbourne empat tahun lalu. Meskipun aku juga mendapatkan offering letter dari universitas di Tokyo dan Newcastle, tempat Ayah dan Ibu tinggal, tetapi aku memutuskan untuk menjauh dari mereka. Aku ingin hidup sendiri karena aku sudah terbiasa hidup sendiri. Terima kasih kudedikasikan kepada ayah dan ibu untuk hal ini.

Empat tahun tanpa sekalipun pulang, aku sangat merindukan negeri ini.

“Ras, bulan depan ke Kediri yuk!” ajak Arya sambil mengendarai mobilnya melintasi jalan tol baru yang menghubungkan Bandung dan Jakarta.

Aku yang dari tadi diam memandangi jendela sambil sesekali berkomentar setiap menemukan hal yang berbeda dari empat tahun lalu pun tersadar dan memandangi Arya.

“Kediri? Untuk apa?” tanyaku bingung.

“Bulan depan kan ulang tahunmu. Aku pingin ketemu Emak, minta dibuatin nasi kuning paling enak sedunia!” seru Arya.

Aku kembali menangis. Mengutuki diriku yang benar-benar lupa tentang Emak. Kututupi wajahku dengan kedua tanganku dan aku mulai meraung.

“Yah, masih suka nangis ternyata!” Arya berkata tidak berdaya.

“Mau, mau ke Kediri!” seuku di sela-sela isakanku.

Aku teringat Emak, segala hal yang dia lakukan padaku sejak aku lahir hingga aku tumbuh dan terpaksa menjadi dewasa, serta cerita-cerita yang ia kisahkan kepadaku dulu.

Cerita tentang masa kecilnya, membantu orang tuanya beternak sapi dan bebek, tentang kakaknya yang katanya judes dan selalu mau menangnya sendiri, tentang mantan suaminya yang kurang ajar, selingkuh, menikah lagi, dan ia pukul kepalanya dengan ulekan karena kesal, tentang anaknya yang gugur di dalam kandungan karena kesedihan dan kemarahannya, tentang keputusannya untuk meninggalkan kampung dan memulai hidup barunya.

Aku merenung dan menyadari aku belajar sangat banyak dari Emak. Emak bukan sekedar pengasuh, penjaga, teman, tapi juga guru yang sangat luar biasa. Emak mengajariku untuk berani, mandiri, kuat, dan tidak tergantung pada siapapun.

Kebo mulih menyang kandhange,” ujar Emak empat tahun lalu saat aku dan Arya mengantarkan beliau ke terminal, mengantarkannya pulang ke kampung halamannya. Menutup petualangan dan perantauannya, dan kembali ke rumahnya. Kerbau kembali ke kandangnya. Orang yang sudah bepergian jauh akan kembali ke tempat asalnya. Jangan pernah melupakan asal usul dan kampung halaman kita.

*

Emak-e mboten eling karo kulo?” Emak tidak ingat pada saya? Tanyaku sedih.

Aku melirik kea rah Arya dengan mata berkaca-kaca. Sedikit lagi, hanya sedikit lagi, air mata ini akan tumpah dan aku bisa menangis meraung-raung seperti orang gila.

“Raras sama Arya, Mak!” seru Arya mencoba mengingatkan. Tahu aku sudah tidak kuat berkata apa-apa lagi.

Emak-e sampun pikun. Mboten eling nopo-nopo,” Mbak Yem, tetangga yang sekarang mengurusi Emak menjelaskan.

Kugenggam tangan Emak dan berkata, “mboten nopo-nopo, sing penting Emak-e sehat,” seruku sambil berusaha tersenyum.

Monggo dahar rumiyen,” Silahkan, makan dulu, seru Mbak Yem mempersilahkan kami makan.

Niki pas pisan dathengipun. Emak-e nembe masak sego kuning!” Ini pas sekali datangnya. Emak baru saja masak nasi kuning. Aku dan Arya saling berpandangan.

“Emaknya sering, Mba, masak nasi kuning?” tanya Arya.

Ooh mboten. Namung setaun pisan. Duko enten menopo. Saben tanggal 25 April, Emak-e mesti masak sego kuning,” Tidak. Hanya setahun sekali. Tidak tahu ada apa, tetapi setiap tanggal 25 April, Emak pasti masak nasi kuning.

Aku memeluk Emak dan menangis sejadi-jadinya.

*

Ilustrasi: Ibu Pileuleuyan karya Affandi

Cantik Itu Luka oleh Eka Kurniawan

Cantik itu Luka, mengkristalkan racauan menjadi simbol dan mencairkannya membali melalui pemahaman bebas tanpa batas

Struktur
Kalau di Manusia Harimau saya begitu terpukau dengan struktur penceritaannya yang disiplin meskipun mengular seperti labirin, di buku ini saya terpukau dengan struktur cerita yang mengalir dengan begitu organik. Dari A kemudian ke G, kembali ke C, lalu ke Y, dan kemudian ke M. Lompatan waktu, setting, plot, tidak dipedulikan, tapi justru membuat ceritanya mengalir dengan sangat menarik. Seperti seorang sahabat yang bercerita ke sahabatnya, terdistraksi banyak hal, tapi tetap dapat dimengerti. Saya teringat kuliah Adam Johnson di Sydney Writers Festival dulu, katanya orang dengan trauma cenderung bercerita dengan tidak terstruktur dan menggunakan banyak simbol untuk mengurangi rasa sakit akibat traumanya. Mungkin Eka juga bermaksud demikian.

Sejarah
Novel ini sangat luar biasa dalam membahas sejarah republik ini. Mengambil rentang waktu empat generasi, novel ini adalah saga yang merangkum masa-masa penting yang dialami negara Indonesia, meskipun dengan cerdas tidak benar-benar dibahas sebagai sebuah bangsa, sehingga tidak perlu dikritisi secara rinci, melainkan disimbolkan dengan sebuah daerah fiktif bernama Halimunda yang entah di mana.

Karakter
Saya melihat karakter-karakter di novel ini sebagai simbol. Tokoh-tokoh perempuan (terutama yang berada di garis keturunan Dewi Ayu, baik sebelum maupun sesudah) sebagai representasi Indonesia, bumi pertiwi, sementara tokoh-tokoh laki-laki sebagai simbol-simbol penguasa yang pernah “menguasai” negeri ini. Hubungan perempuan-lelakinya juga begitu kompleks. Ada cinta, obsesi, pemaksaan, perlawanan, penerimaan, kekecewaan, dan kepasrahan. Hubungan yang tidak hitam putih, politik saling benci saling membutuhkan, semuanya kaya dan membaur dengan luar biasa di novel ini.

Feminisme
Saya teringat seorang mahasiswa sastra yang datang ke Makassar International Writers Festival, yang berencana membahas unsur feminisme di novel ini untuk bahan tesisnya. Saya rasa, novel ini memang membahas banyak persolan perempuan secara satir dan layak diulas lebih dalam.

Perempuan yang diperkosa silih berganti oleh penguasa rezim yang juga silih berganti ketika kondisi negeri ini masih belum stabil, menggelitik pemikiran kritis, mengapa simpang siur kekuasaan politik selalu mengikutsertakan pemerkosaan dan pelecehan seksual kepada perempuan?

Kritik sosial mengapa perempuan yang diperkosa oleh laki-laki harus dinikahkan dengan laki-laki pemerkosanya disebut berkali-kali di buku ini, seperti berusaha menyadarkan masyarakat, ITU BUKAN SOLUSI! Hal tersebut bahkan malah akan menimbulkan trauma dan masalah-masalah baru bagi sang perempuan.

Kekerasan dan pemerkosaan suami terhadap istri (hubungan badan yang dipaksakan tanpa persetujuan dari istri) juga ditulis secara vulgar dan visual, seolah ingin menyadarkan pembaca kalau perbuatan tersebut bukanlah sesuatu yang dapat dimaklumi.

Kritik terhadap persepsi cantik-jelek dan kondisi fisik perempuan di tengah masyarakat juga sangat menggelitik dan membuat saya berpikir.

Mistis dan Absurditas
Di buku ini Eka Kurniawan berbicara dalam simbol. Hantu, roh jahat, jalangkung, orang sakti yang moksa, mayat yang harum, semua ditulis dengan bebas seolah berceloteh tanpa arah. Saya rasa tidak ada formula benar salah khusus untuk mengartikan simbol-simbol yang digunakan Eka Kurniawan, semua bebas diartikan semau pembaca.

Eka Kurniawan, sekali lagi, Anda telah membuat saya tidak hanya jatuh hati, tetapi jatuh cinta ~

Slamet Menempuh Hidup Baru

“When people are in close relationships, their self becomes intertwined with their partner’s self. We begin to think of a partner as a part of ourselves – confusing our traits with their traits, our memories with their memories, and our identity with their identity. When a relationship ends, the loss of a partner can, to some extent, cause the loss of the self.”

Arthur Aron, psychologist.

4 November 2015, seorang sahabat kecil saya, salah satu yang paling lama, mengirimkan undangan pernikahannya. Kedekatan kami cukup rumit, sehingga undangan tersebut terasa seperti surat pemutusan hubungan pertemanan secara resmi antara saya dan dia.

Saya menunjukkan undangan tersebut kepada Fariz, seorang teman yang (saya yakin menyesali keputusannya) telah menandatangani surat perjanjian mendengarkan curahan hati saya kapanpun diperlukan di atas materai.

“Kalau lo jadi gue, apakah lo akan datang?” tanya saya.

“NGGAK LAH!” jawab Fariz, dengan huruf capital khas-nya. “Mending naik Guntur. Yuk! Atau naik yang heboh sekalian. Slamet. Terus teriak di atas, ‘LIFE SUCKS!’, ala-ala Realita Cinta dan Rock n Roll”.

Jeda dua menit saya menjawab, “I am in!” saya rasa itu refleks. Jawaban reaktif dan impulsif.

“GILA! Lo sepatah hati itu lho, sampai naik gunung tertinggi kedua di Jawa juga lo iyakan. Semoga ketinggian bisa membuat lo jadi tidak sedih,” kata Fariz.

Dan kami pun mulai merencanakan perjalanan impulsif kami tersebut.

Meskipun tahun lalu negeri ini dilanda kemarau panjang, namun bulan November sudah masuk musim hujan. Orang-orang waras tidak akan mengiyakan ajakan kami, terlebih lagi karena persiapan yang begitu pendek, hanya sembilan hari.

Saya dan Fariz mulai mengumpulkan pasukan. Banyak yang tertarik untuk ikut. Saya merasa beruntung karena memiliki teman-teman yang cukup gila, namun karena berbagai alasan, banyak yang membatalkan partisipasinya. Ada yang sakit, ada yang tidak mendapatkan izin, dan ada yang harus bekerja. Akhirnya hanya Dhini, personel pendakian Semeru yang mungil namun tangguh dan Caweng, teman mendaki saya di Rinjani yang akan naik vespa dari Yogya yang resmi berpartisipasi dalam perjalanan kali ini. Saya yang saat itu sedang tidak stabil, mulai membaca tanda yang tidak-tidak.

Tiket kereta api ke Purwokerto tadinya banyak tersedia ketika kami merencanakan perjalanan ini. Itu membuat kami menunda-nunda untuk membelinya. Karena kami masih menunggu konfirmasi dari beberapa teman yang tertarik untuk ikut, namun belum bisa memastikan partisipasi mereka. Ketika personel sudah pasti, dan kami hendak membeli tiket kereta, tiba-tiba beberapa hari sebelum keberangkatan, mendadak semua tiket kereta habis. Tanda-tanda kedua. Namun, kami tetap bersikukuh. Kami tetap akan berangkat. Tidak bisa naik kereta, kami akan naik bus.

Jumat, 13 November 2015. Hari keberangkatan kami. Hujan mengguyur deras dari siang. Langit gelap dan kilat menyambar-nyambar membuat Jakarta begitu menakutkan. Belum lagi ancaman banjir dan macet. Kota ini boleh terlihat kuat dan tangguh, tetapi hujan deras, selalu saja berhasil membuatnya lumpuh.

“Na, ini kita random ya,” kata Fariz.

“Hujan deras, macet, cuma berempat doang, nggak dapat tiket kereta, ini kayak semesta menyuruh kita untuk mengurungkan niat, nggak sih?” saya mulai ragu. “Tetep berangkat, Riz?”

“Determinasi, Na. Lusa kita di puncak gunung,” jawab Fariz. “Kita tetap coba sebisa kita. Kalau memang sudah sampai sana dan nggak bisa naik, ya kita berhenti.”

Fariz dengan tas gunung besarnya datang ke kantor saya, untuk kemudian bersama menembus hujan, mencari taksi menuju Terminal Kampung Rambutan, yang kami tidak tahu di mana letaknya. Dhini meluncur dengan ojek, menggendong tas besar, melindungi diri dengan jas hujan. Caweng, berangkat dari Yogya, dengan vespa kesayangannya.

9bb104d8-8562-4543-9e58-d71bfcf52a38

Di Terminal Kampung Rambutan, kami disambut oleh calo-calo dan agen-agen yang sangat agresif.

“Ke mana Mbak?” kami dikerumuni.

“Bambangan,” kami menjawab.

“Bisa, bisa!” semua calo menjawab ‘bisa’, mencoba menggiring kami ke loket mereka masing-masing.

Tidak mengerti cara kerja terminal di Indonesia, kami memutuskan untuk mempercayai salah satu ‘agen’, membeli tiket bus yang katanya ‘lewat’ Bambangan.

Bus kami berangkat pukul 10 malam, mengarungi kemacetan kota Jakarta, dan harus diturunkan di tengah jalan, karena rupanya bus kami tidak menuju Bambangan, kami harus naik bus yang lain. Kami pasrah, sepertinya terlalu tegang dan lelah untuk mengeluh. Kami menyimpan tenaga, lebih banyak tidur untuk menghadapi Gunung Slamet di pagi hari.

*

Kami tiba di gerbang Desa Bambangan sekitar pukul 6 pagi, setelah menyusuri Kota Purwokerto yang berkabut. Turun dari bus kami mulai mempersiapkan diri untuk pendakian. Membeli air, sarapan, dan makan siang. Bersiap untuk segera berangkat. Caweng sudah sampai, menunggu kami di salah satu base camp yang tersedia.

74b32a6b-8b9f-46e9-8b16-0725def02a9b

Tanpa banyak ba-bi-bu, kami memulai perjalanan kami, menyusuri kebun bawang merah yang rupanya menjadi salah satu komoditi utama dari desa ini. Kemudian kami mulai mendaki, jalur tanah yang terus menanjak tanpa henti. Kami berhenti setiap pos peristirahatan, yang tidak seperti gunung lain yang pernah saya daki, selalu dijaga oleh warga lengkap dengan makanan dan minuman yang memanjakan kami. Semangka, gorengan, teh manis, jajanan-jajanan sederhana yang memberikan suntikan semangat, menjadi hadiah penyembuh sementara kelelahan kami.

08fff8d8-c1cd-4242-90d7-d17ff5d27e90

Sepanjang pendakian Fariz terus berkomentar, menahan geli sendiri, “Kita ngapain sih? Hujan-hujan begini itu, harusnya diam di kamar, makan mie rebus sambil nonton DVD, bukan naik gunung”.

Saya, Dhini, dan Caweng hanya bisa tersenyum, sadar atas kebenaran perkataan Fariz, namun tidak juga menyesali keputusan tidak logis yang kami ambil ini.

Kami terus mendaki hingga pos 3, hujan mengguyur, tapi kami tidak berhenti. Kami memutuskan untuk terus berjalan, supaya lekas sampai, supaya bisa beristirahat dengan lebih nyaman di tenda. Sekitar pukul 3 sore kami sampai di pos 3, mendirikan tenda, dan mulai menghangatkan diri dengan makanan perbekalan kami.

Perjalanan panjang dari Jakarta, dan Yogya untuk Caweng, serta jalur pendakian Gunung Slamet yang jarang memberikan jeda untuk beristirahat, membuat kami cukup kelelahan, dan memutuskan untuk beristirahat lebih cepat.

Pukul tiga pagi kami bangun, mempersiapkan diri untuk pendakian ke puncak. Sesering apapun kami mendaki, sebanyak apapun gunung yang telah didaki, pendakian menuju puncak tetap selalu mendebarkan. Melawan dingin, malas dan kantuk, berusaha menang atas was-was dan rasa takut, kami berempat keluar dari tenda dan memulai summit attack kami.

Konsisten dengan kecuramannya, Gunung Slamet tetap menantang kami hingga titik terakhir. Perlahan tapi pasti, dengan istirahat ‘lima menit, guys!’ yang diulang-ulang, kami terus mendaki Gunung Slamet hingga pos terakhir, di mana kami berhenti sejenak, sebelum sampai ke puncak, untuk menyaksikan terbitnya matahari.

Fariz memainkan musik dari ponselnya, ‘Here Comes the Sun’ – The Beatles, menyambut datangnya matahari pertama, 15 November 2015.

aa5f1bae-ff22-477a-a910-98ec7b7eaed5

“Bagus ya, mataharinya!” saya berkata penuh antusias, benar-benar terpana dengan semburat cahaya yang perlahan muncul, menghilangkan gelap yang sedari tadi membungkus kami dengan erat.

“Harusnya lo bisa kayak gitu setelah hari ini,” komentar Fariz, kembali mengingatkan saya akan tujuan saya naik gunung ini, yang sebelumnya sempat terlupakan, terdistraksi oleh rasa lelah, namun juga rasa nyaman sekaligus tidak nyaman yang selalu saya rasakan ketika mendaki gunung.

*

Puncak Gunung Slamet adalah salah satu medan favorit saya. Setiap pendaki pasti punya tipe medan kesukaannya masing-masing. Bisa jalur tanah, pasir, batu-batu besar, curam tapi pendek, memutar tapi landai, semua pasti memiliki preferensinya masing-masing. Saya sendiri, saya lebih suka merayap, menggunakan kaki dan tangan sebagai tumpuan di bebatuan sedang, yang tidak terlalu kecil, tidak terlalu besar. Puncak Gunung Slamet memiliki karakteristik yang pas untuk saya.

Kami mendaki sambil menikmati hangatnya matahari, yang merambat perlahan menggantikan dingin yang sempat membuat kami menggigil. Dengan langkah-langkah ringan, dari satu batu ke batu lain, dibantu oleh tangan yang mencari-cari tumpuan yang mudah diraih, meringankan langkah kaki.

b7ec6a44-e1ab-401f-9706-1f1194847313

Sampai di puncak, kami disambut oleh kawah yang menganga dan lautan awan. Pemandangan luar biasa yang secara instan selalu bisa menghilangkan lelah, nyeri, sakit, dan menyembuhkan luka-luka yang dirasakan para pendaki. Lega dan disambut, rasanya seperti pengelana yang memutuskan untuk pulang dan kembali diterima oleh orang-orang yang disayanginya. Mungkin itu yang membuat pendaki selalu ingin kembali, membayar rindu pada gunung yang sepertinya akan abadi.

eeb399c4-59d8-4bf0-bf65-26ec1c311cb9

e921e362-9148-4346-824a-fcb8cf4821a0

Setelah melakukan ‘kewajiban’ foto-foto di puncak, kami berempat duduk memandang lautan awan di hadapan kami. Fariz kembali memutar musik dari ponselnya, ‘I Will’ – The Beatles.

“Ayo teriak sekarang!” Fariz menantang.

Saya menggeleng. Saya tidak ingin berteriak ‘LIFE SUCK!’, karena hidup indah, penuh pelajaran berharga.

Saya hanya sedih. Dan kadang, kita membutuhkan sedih untuk dapat menyadari hal-hal lain yang penting dalam hidup kita. Jadi bukannya berteriak, saya malah menangis. Tidak meraung atau terisak, tetapi menetes, terjatuh pelahan dan disambut oleh pelukan Dhini yang hangat.

Selama beberapa saat, kami berempat duduk diam tanpa kata. Sibuk dengan isi kepala masing-masing yang entah apa. Berbeda dengan gunung-gunung tinggi yang megah, yang didaki untuk menguji diri, bagi saya, Gunung Slamet memiliki keistimewaannya tersendiri. Langkah-langkah yang berat, nafas dan degup jantung yang menderu, menahan keluarnya kata dan percakapan, membuat pendakian Slamet begitu tenang dan menenangkan. Membuat suara-suara dalam diri lebih jelas terdengar dan memberi kita kesempatan untuk mengerti dan memahami.

*

Kami turun dengan kelegaan tersendiri. Rencana impulsif ini berjalan lancar sejauh ini. Kami berjalan santai namun berharap sampai tidak terlalu sore, sehingga bisa mendapatkan bus yang mengantarkan kami sampai di Jakarta di pagi hari. Kembali ke pekerjaan dan aktivitas masing-masing seolah tidak ada yang terjadi.

0f84d51c-ae03-4097-9a5b-535ad19f6662

Hujan mengguyur, jalan tanah menjadi licin, membuat kami sedikit melambat, takut terpeleset. Kami tiba di perkebunan bawang merah, gerbang Gunung Slamet dari Desa Bambangan menjelang hari gelap. Kami membersihkan diri di rumah warga yang berbaik hati mengizinkan kami menggunakan kamar mandi mereka.

Kami mengucapkan selamat tinggal kepada Caweng yang akan kembali memacu vespa kesayangannya untuk kembali ke Yogya, melanjutkan studinya. Sementara saya, Fariz, dan Dhini, menunggu dengan sabar datangnya kendaraan yang akan membawa kami kami ke Terminal Purwokerto.

Kami sampai di terminal sekitar pukul sepuluh malam. Bus-bus agen besar sudah berangkat. Yang tersisa hanya bus-bus kecil dengan kredensial yang lebih jarang terdengar. Tidak ada pilihan lain, kami memilih bus yang berangkat paling cepat.

Dengan mesin yang tersendat-sendat, dengan kecepatan yang ‘seadanya’ bus kami melaju, namun sesekali batuk-batuk dan berhenti, mengantarkan kami sampai ke Jakarta. Tidak sesuai jadwal yang kami harapkan memang, tapi kami tetap bersyukur dapat kembali ke kota kami dengan selamat.

Kami berpisah di sekitar Kali Deres, Dhini naik taksi menuju tempat tinggalnya, sementara saya dan Fariz berbagi taksi. Saya sibuk mengirimkan pesan teks kepada bos dan rekan kerja saya di kantor, mengabari saya akan datang terlambat. Sementara Fariz, bulat memutuskan tidak akan pergi ke kantor, memutuskan akan makan di restoran padang mana setelah ini.

“Somehow, after all these, I feel okay,” saya mengaku.

We stole the moment,” jawab Fariz. “Setelah semua ini, kalau nanti lo teringat hari kemarin, bukan kesedihan karena kehilangan dia yang akan lo ingat, tapi capeknya kita naik gunung, hujan-hujanan, dan semua keputusan-keputusan bodoh yang kita ambil”.

Saya tersenyum, “Thank you!”

It’s okay. That’s what friends are for,” jawab Fariz.

*

Menutup perjalanan mendaki Gunung Slamet, gunung kedua tertinggi di Pulau Jawa, saya mengirimkan sebuah pesan kepada sahabat kecil saya. Sebuah paragraf di halaman terakhir buku Maya karya Ayu Utami yang pernah disuruhnya saya membaca.

“Ada cinta di mana kita tak menyentuh. Aku bersyukur karena mengenalmu. Sebentar lagi kubiarkan suratku ini diluruh api. Seperti segala percakapan di sini. Ada kesedihan sekaligus ketakjuban melihat kata-kata begitu lekas menjelma abu. Tapi kita sama-sama tahu, yang tertulis tetap tertulis”.

Slamet menempuh hidup baru.

Doaku untukmu!

Wregas Bhanuteja’s Short Movies

Prenjak

Menghibur saat ditonton, namun meninggalkan residu yang mengusik setelahnya. Menurut saya itu benang merah film-film pendek Wregas Bhanuteja.

Penonton dibuat tertawa karena konyolnya realita yang terasa begitu dekat, namun lantas dipaksa berpikir. Tidak bisa tidak. Katanya, memang begitu karakter orang-orang di sekitar kita, terutama orang Yogya, tempat Wregas tumbuh besar, terbiasa melihat unsur komedi dalam tragisnya masalah yang terjadi. Mungkin benar.

Akting yang luar biasa, terutama di film Lemantun. Saya bisa membayangkan pakde-bude saya berbicara dan bercanda seperti itu.

Bahasa Jawa yang begitu puitis. Memiliki nada yang begitu pas mewakili berbagai macam emosi. Tidak berjarak.

Bukan tipe film yang mengundang puja-puji, atau menghilangkan kata-kata saking luar biasanya. Film-film pendek ini, bagi saya, “cukup” mengena saja, namun sangat menarik untuk dijadikan bahan diskusi.

Film Prenjak sendiri, kalo menurut Fariz, sangat “Efektif dan Efisien”. Mungkin benar. Cerita yang menggelitik, visual yang sangat berani, dan teknik pengambilan gambar yang puitis, berhasil membungkus tema kompleks yang ingin diangkat oleh film ini. Penonton secara tidak sadar diajak bersama-sama berpikir, tanpa merasa digurui atau mendengarkan khotbah benar salah.

Tema kesetaraan hak dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki, serta kritik mengenai kesepakatan untuk memenuhi tanggung jawab masing-masing yang seringkali masih diabaikan, berhasil menggores dan meninggalkan jejak di benak penonton tanpa perlu berkoar-koar secara terang-terangan di film.

Menurut saya sih, Wregas Bhanuteja dan kawan-kawan berhasil!

Melihat Api Bekerja oleh M Aan Mansyur

Dalam pengantarnya untuk buku ini, Sapardi Djoko Damono memberikan penjelasan mengenai hubungan antara sastra, aksara, dan bunyi. Sastra adalah aksara, urusannya dengan mata. Berbeda dengan bunyi yang kita dengar melalui telinga. Tapi puisi dapat membuat kita ‘melihat’ bunyi.

“Aksara ternyata tidak pernah bisa mengubur bunyi: kita cenderung melisankan kembali apa yang sudah kita ubah menjadi ujud visual,” kira-kira begitu menurut Pak Sapardi.

Di buku kumpulan puisi ini, saya merasa dipaksa untuk mendengar dongeng isi kepala Aan Mansyur. Ketika hanya membacanya dengan mata, saya seperti tidak bisa merasakan apa-apa, tapi ketika saya melafalkan aksara membentuk kata, meskipun dengan suara yang lirih, makna itu secara ajaib kemudian baru hangat terasa.

Puisi adalah bunyi, yang mengkristal menjadi aksara dan kata.

Dari semua hal yang dibahas di kumpulan puisi ini, baik yang literal maupun yang berupa simbol, saya paling tertarik dengan penggambaran Bulan, Matahari, dan Langit.

Nama saya yang berarti ‘bulan’ membuat saya merasa memiliki kedekatan personal dengan gambaran bulan di puisi-puisi di buku ini.

Bintang. Ah Bintang, saya selalu kagum dengan bintang. Bahkan saya rasa saya benar-benar mencintai sosok bintang. Bintang selalu mengingatkan saya pada jarak dan waktu. Bintang terlihat indah karena dia berada jauh dari jangkauan kita. Namun ketika ia terlalu dekat, ia akan membakar dan memusnahkan. Pendar cahaya bintang terasa manis dan romantis karena dia setia, terus menyala, merambat mengarungi waktu, bahkan mungkin ketika binarnya tertangkap mata, sang bintang telah mati. Dan bintang, ketika ia mati, dia mengisap. Membuat semestanya merintih karena dipaksa memaknai pahitnya kata ‘tiada’.

Sekarang langit. Sepertinya saya sedang jatuh hati kepada langit. Langit yang tanpa batas dan menyimpan banyak tanya. Langit yang tidak bisa dikekang atau digapai, tapi selalu ada. Langit yang bisa indah berwarna-warni, gelap dan pekat, bahkan menangis meraung-raung. Langit yang dalam puisi ‘Masa Kecil Langit’ ditulis dengan gamblang, “Ia hanya menginginkanmu menunggu. Ia akan pergi tanpa kauminta”.

Kumpulan puisi di buku ini tidak bisa tidak mengundang tafsir. Membuat pembaca menerka-nerka apa yang ada di kepala penulis, sekaligus mengusik apa-apa saja yang mengerak di kepala dan mendebarkan dada pembaca.

Kerumunan Terakhir oleh Okky Madasari

Seperti biasa, karya-karya Okky Madasari selalu berhasil menggelitik kesadaran sosial kita tentang isu-isu yang terjadi di masyarakat. Kali ini tentang kegelisahan terhadap teknologi, identitas, eksistensi dan keberartian seseorang yang hidup di dua dunia, nyata dan maya.

Banyak hal yang akrab dan dekat dengan pengalaman sehari-hari, namun banyak pula hal asing yang cukup menarik dan mengundang rasa ingin tahu. Orang-orang dengan nama besar di dunia maya, yang hidup di balik topeng yang menutupi identitas aslinya, apa sebenarnya motif di balik keputusan mereka? Pengecutkah? Tukang kibulkah? Atau mungkin malah punya intensi tulus untuk berjuang melalui kata-kata dan menuntut keadilan, seperti Batman atau Superman yang juga menutupi identitas mereka? Walaupun bukan topik yang menyayat-nyayat hati nurani ataupun membuat saya pribadi menjadi geram, namun saya yakin kegelisahan Mbak Okky juga banyak dirasakan oleh orang-orang yang aktif berkerumun di dunia maya negeri ini. Saya sendiri sepertinya terlalu apatis di dunia maya, kurang gaul, terlalu sibuk dengan update-update tentang diri saya dan orang-orang terdekat saya, serta hanya peduli pada hal-hal yang menarik bagi diri saya sendiri.

Terlepas dari tema utama yang ingin disampaikan oleh novel ini, hal yang justru benar-benar menarik perhatian saya dari Kerumunan Terakhir adalah hubungan antara Jayanegara dan ayahnya. Hubungan antara seorang anak lelaki yang membenci ayahnya karena mengkhianati ibu dan keluarganya, namun tidak berdaya karena terbelenggu oleh nama besar sang ayah. Saya merasakan kegelisahan yang kompleks di sini. Saya merasa Mbak Okky berhasil bermain-main dengan ego dan maskulinitas seorang pria muda di sini. Mengingatkan saya pada ulasan mengenai “frustasi sosial” dan “impotensi pemikiran” yang diulas di artikel Rolling Stone Indonesia ini: https://t.co/y8XXRZvkJL

Puncak yang Sekali Saja

Pendakian Semeru, Mei 2015 bagian ketiga (tamat)

Malam ini, untuk mengumpulkan potongan-potongan cerita perjalanan Semeru, perjalanan yang kata Fariz memulai segalanya, saya harus meruntun arsip media sosial media saya hingga 12 bulan lalu. Ingatan saya memang kurang bisa diandalkan.

Baru saja saya mendapatkan koreksi dari Delta, yang dari dulu memang selalu awas terhadap hal-hal yang rinci. Katanya, “Ada catatan yang perlu diluruskan. Untuk bagian pertama, nama Talenta waktu itu belum ada. Talenta baru terbentuk setelah pulang, setelah Fariz menunjukkan sebuah band dangdut yang bernama Talenta 2000. Untuk bagian kedua, si Delta tidak meninggalkan sedikitpun barang di Ranu Kumbolo, karena barang bawaannya sudah sangat efektif dan efisien”. Terima kasih atas koreksinya.

Meskipun seringkali luput akan rincian kejadian, tapi pengalaman menuju Puncak Mahameru, tidak akan dapat saya lupakan. Ini adalah salah satu cobaan terberat dalam hidup saya.

Mendaki gunung berapi aktif yang masih sering memuntahkan gas beracun yang dapat membunuh manusia dengan mudah, kami harus sangat berhati-hati dalam memperkirakan waktu pendakian ke puncak. Puncak Semeru begitu ‘berbahaya’, sehingga kencang terdengar himbauan untuk tidak menjajal puncaknya.

Kami sebenarnya enggan nekat, tapi sebelum bergerak ke Kalimati, kami mendapatkan wejangan dari penjaga di Ranu Kumbolo. Katanya, “Jika sampai tengah malam tidak ada aktivitas alam yang mencurigakan, Puncak Mahameru aman untuk didaki”. Berbekal anjuran itu, kami pun semakin yakin untuk terus mendaki puncak tertinggi di Pulau Jawa ini.

Pukul 11 malam kami sudah mulai dibangunkan. Dinginnya Kalimati yang benar-benar menusuk tulang membuat saya yang semalaman tidur dengan gelisah bersemangat untuk bangun. Lebih baik bergerak dan beraktivitas daripada terkelungkup kedinginan di dalam tenda.

Kami berkumpul dalam rombongan besar kami, meskipun tidak semua orang memutuskan untuk berangkat. Setelah diberi penjelasan singkat dari ketua rombongan dan berdoa bersama, kami siap untuk merayap melawan gelap, memberontak terhadap dinginnya udara malam.

Ini adalah summit attack kedua saya. Yang pertama di Gunung Rinjani. Meskipun berhasil sampai ke Puncak Anjani, saat itu saya benar-benar babak belur. Baru sepertiga perjalanan saya sudah memuntahkan seluruh isi perut saya. Asam lambung saya naik karena kelelahan yang luar biasa.

Berkaca dari pengalaman tersebut, sejujurnya saya sangat takut hari itu. Saya tahu perjalanan akan berat dan Puncak Mahameru terkenal sangat garang, namun entah bagaimana, tidak sedikitpun saya merasa ragu. Saya benar-benar takut, namun sama sekali tidak ragu, seolah tidak ada pilihan lain selain maju dan menjajal Puncak Mahameru.

Menemukan ritme yang pas dan memanaskan tubuh yang sempat kaku karena kedinginan membuat langkah awal pendakian kami terasa berat. Jika terlalu lelah, gigi graham saya selalu sakit dan ngilu, nafas saya memburu, dan keringat dingin saya membanjir. Namun karena jalur sangat ramai dan padat, mental saya terkuatkan. Semua mengalami hal yang sama.

Selain menyiksa fisik, summit attack Semeru juga merupakan pertempuran mental. Pendakian terjal sejauh 976 meter seringkali membuat para pendaki menyerah di tengah jalan. Di perjalanan kami ini pun kami menjumpai banyak pendaki yang mundur, bahkan yang menyebalkannya berusaha menjatuhkan mental pendaki lain untuk ikut menyerah bersama mereka. Malam itu saya memang sangat lelah, namun entah bagaiman tidak ada sedikitpun niatan untuk mundur dan kembali ke tenda.

Setelah lewat batas vegetasi, mental saya menciut. Terlihat kelap-kelip lampu para pendaki yang sudah mengular hingga nyaris ke puncak. Semakin terlihat tingginya puncak gundul Semeru dari bawah. Sempat terbersit di kepala, “Bagaimana cara bisa sampai ke puncak sana? Tinggi sekali!”

Awal pendakian Puncak Gundul Semeru teramat sangat berat. Para pendaki diharuskan untuk merayap menggapai kerikil-kerikil dengan konsekuensi tenarnya, ‘dua-satu’, dua langkah naik, satu langkah turun. Terus seperti itu. Kepanikan mulai menjalari tubuh saya. “Begini terus sampai atas? Mau sampai puncak jam berapa? Apakah saya mampu?”

Meskipun takut dan sempat meragukan kemampuan diri, namun saya terus merayap, masih seolah-olah tidak ada pilihan lain untuk mundur dan kembali.

Tidak berapa lama, siksaan kerikil ini tiba-tiba berakhir. Tiba-tiba ada jalur mengular yang membuat para pendaki bisa berdiri tegak kembali. Sepertinya jalur ini memang sengaja dibuat untuk memudahkan para pendaki. Terpujilah bagi manusia-manusia mulia yang membuat jalur ini. Tidak hanya memudahkan, tapi jalur ini benar-benar memberikan kekuatan mental kepada para pendaki yang mungkin nyaris menyerah dan putus asa.

Tahun lalu, kami memilih mendaki Semeru di waktu yang benar-benar favorit. Seperti musim haji, sepertinya semua pendaki berbondong-bondong menjajal gunung tertinggi di Pulau Jawa ini secara bersamaan. Alhasil, terjadi kemacetan yang sangat panjang menuju puncak. Antrian manusia, di tanjakan terjal penuh kerikil, pasir, dan batu-batu.

Berdiri menunggu, di tengah malam yang dingin, beberapa kali saya sempat tertidur tanpa sengaja. Lelah dan ngantuk, kombinasi yang sangat pas. Kesal karena harus menunggu lama, lucunya, para pendaki yang di bawah bukannya marah-marah, malah memberi semangat pada pendaki yang melambat karena kelelahan di atas. “Ayo semangat, lebih cepat lagi! Pasti bisa!”

3d0bc1bb-b104-408c-ab18-16fd94fec300.jpg

Begitu kerucut puncak semakin ramping, dan jalur buatan berliku harus habis, para pendaki harus kembali merayap. Berbeda dengan summit attack Rinjani di mana langkah saya terasa begitu berat, dan saya harus bertumpu di tangan porter, pendakian menuju Puncak Semeru ini terasa jauh lebih menguatkan. Badan saya tetap lelah, sedikit-sedikit saya berhenti untuk beristirahat, namun langkah saya mantap. Tetap merayap maju, meskipun stamina sudah kedodoran dan nafas sudah putus-putus.

29c706a8-d074-48b9-99a6-0d57e5666d3b

1f115310-04bb-46f3-b3b4-bd941f38fbe7

Kesimpulan saya, summit attack itu lebih banyak faktor mental dibanding fisik. Saya rasa semua orang di titik ini sudah kehabisan tenaga, sudah kepayahan secara fisik, yang membedakan adalah apa yang ada di kepala. Jika perang antara keyakinan melawan keraguan berhasil dimenangkan oleh keyakinan, maka langkah-langkah yang berat ini akan tetap mantap. Tidak menjadi lebih ringan, tapi bisa terdorong untuk terus bergerak.

Fitri dan Kaca bergerak dengan pasti di depan saya, memberikan suntikan semangat dan motivasi. Saya tinggal memijak bekas pijakan mereka, dan saya akan baik-baik saja. Mas Basuki, Jangier, dan Delta terkadang berpapasan di sekitar saya, namun datang dan hilang. Adit dan Dhini mendapat kendala berat, membuat langkah mereka harus terhenti dan kembali ke tenda. Kris, entahlah, saya tidak berhasil melihatnya, sepertinya sudah jauh di depan sana. Terakhir, Fariz, sepertinya tempo kita tidak jauh berbeda, sepertiga rayapan terakhir saya berjalan bersamanya.

21cbd99b-d3b7-4098-88fe-aff480447079

Sepanjang jalan saya mendengar Fariz komat-kamit, seperti berdzikir. Saya mencoba mendengarkan dengan lebih seksama. Ternyata Fariz mengucapkan mantra, “This too shall pass!” sebuah kalimat sederhana, yang kemudian sering kami pergunakan untuk saling menguatkan di pendakian-pendakian kami selanjutnya.

Delapan jam mendaki, merayap, merangkak, dan akrobat gaya bebas, akhirnya kami sampai di Puncak Mahameru. LELAH LUAR BIASA. Senang dan antusias masih belum muncul, masih kalah telak dengan kelelahan yang luar biasa. Saya hanya bisa tergeletak di Puncak, mengumpulkan energi yang menguap nyaris tanpa sisa.

9c64c269-0b0e-471e-9941-8ca44e3912cd.jpg

Baru setelah dua puluh menit, saya bisa bangkit, dan mulai tersadarkan akan keindahan luar biasa yang membayar lunas semua perjalanan penuh peluh dan rasa sakit. Berdiri di kelilingi awan, seperti menyentuh langit biru. Ini sensasi yang dicari. Perasaan takjub dan terpukau seperti inilah yang membuat gunung selalu membuat rindu.

Kami menghabiskan waktu dengan berkeliling, mengagumi atap pulau Jawa ini, dan mengabadikannya dengan foto-foto yang akan menjadi kenangan berharga.

f5c6ec5b-b8fb-4df9-a12c-dc2aece99811

Meskipun rasanya luar biasa ketika kaki dan tubuh ini menyentuh puncak, tapi rasanya kami tidak sanggup untuk mengulanginya. Kami sepakat bahwa, Mahameru adalah puncak yang sekali saja seumur hidup. Tidak perlu diulang. Ini puncak yang keterlaluan.

*

Semeru adalah pengalaman yang luar biasa. Pendakian ini adalah momentum berharga yang menjadi awal dari segalanya.

Satu hal yang begitu saya suka dari mendaki adalah proses keterhubungan antara para pendakinya. Orang-orang yang tadinya belum saling mengenal bisa mendadak jadi akrab, seperti kakak adik yang bertemu kembali setelah lama terpisahkan. Seperti sahabat yang sudah lama saling merindukan.

Sepanjang perjalanan naik dan turun, saya belajar dan menyerap banyak hal. Saya mendapatkan teman dan sahabat baru yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya. Saya mengenal lebih dalam karakter teman dan sahabat saya yang mungkin saya pikir sudah saya pahami sebelumnya. Saya mendapat segudang cerita yang begitu berharga, yang pastinya akan terus saya ulang hingga ke anak cucu saya. Dan yang terpenting, saya belajar untuk semakin mengenal dan yakin pada diri saya.

Sampai detik ini, Talenta yang lahir dari perjalanan Semeru di tahun lalu masih tetap ada. Meskipun tidak lengkap selalu bersama, tetapi dalam setahun ini kami sudah melakukan ekspedisi-ekspedisi lanjutan yang tidak kalah seru dan penuh cerita. Tidak hanya gunung, kami juga mencoba mengeksplorasi pantai, taman, air terjun, bahkan konser musik di berbagai kota.

84d3483a-f46f-41d1-a600-876004dc60f8

Genap setahun Semeru kita, jangan biarkan rindu ini menggantung terlalu lama. Ayo, Kerinci kita!

[Tamat]