Dinginnya dini hari seolah ingin menguji mental para pendaki yang ingin menjajal Puncak Anjani. Deru dan gemuruh angin datang dan pergi membawa ribut, mencoba mengecilkan nyali para pengelana pencari matahari.
“Udalah, kamu tidur aja di tenda!” seru si pria dengan kasar. “Kamu pasti ngerepotin nanti!”
“Tapi aku ingin ikut!” perempuan muda ini membantah. “Aku ingin melihat matahari terbit pertama di tahun ini dari Puncak Anjani.”
“Ck, ada-ada saja ya kamu,” si pria memutar bola matanya, terlihat kesal. “Dari kemarin saja kamu sudah ngos-ngosan, bikin rombongan kita telat sampai pos, nggak kebagian tempat kemah yang enak. Nanti semua batal dapat matahari terbit gara-gara kamu, gimana?”
Sebenarnya Aliq enggan ikut campur. Aliq bukan tipe orang yang suka mencari gara-gara. Terlebih kepada orang-orang yang nantinya akan membayarnya. Tetapi perempuan ini begitu mengingatkannya kepada Ana, kekasih yang begitu dirindukannya. Kekasihnya yang pemberontak, yang tidak bisa dilarang atau dikecilkan jika sudah bulat tekadnya. Kekasih yang harus ia tinggalkan tanpa pesan perpisahan di Negeri Singa.
“Mas, biar Mbaknya saya bantu untuk naik Puncak Anjani. Mas-mas yang lain bisa naik lebih dulu, sehingga tidak terlewat matahari terbitnya,” Aliq menawarkan diri dengan sopan.
Si pria menoleh ke arah Aliq. Sedikit memicingkan mata, menguji rasa percayanya. “Enggak nambah kan?” tanyanya. Khawatir dirugikan, karena perjanjian awal porter hanya mengantar sampai perkemahan di Plawangan Sembalun.
Aliq tersenyum, hafal betul gelagat tidak mau rugi ini, “Enggak usah nambah, Mas!”
“Ya sudah, sana gih, kamu siap-siap!” ujar si pria, dengan nada memerintah.
*
Sudah sebulan ini Aliq kembali ke Lombok, pulau kelahirannya, setelah tujuh tahun merantau di Singapura. Pulau cantik ini masih tetap sama. Pantai-pantai dan jajaran nyiurnya yang melambai, selalu berhasil merayu dan menggoreskan rindu. Nikmatnya ayam taliwang dan plecing kangkung buatan Inaq tetap menghantui ke mana pun kaki Aliq menjejak.
Meskipun semua tampak sama, namun tetap banyak yang berubah sejak Aliq meninggalkan Lombok. Seperti sekarang, ladang pertanian di Sembalun, desanya, sudah banyak yang terbengkalai. Pemuda-pemuda enggan bertani. Mereka memandang pekerjaan yang telah menghidupi nenek moyang suku sasak selama beratus-ratus tahun ini begitu hina, sia-sia dan gagal mewujudkan mimpi kesejahteraan, sehingga mereka meninggalkannya.
Pemuda Desa Sembalun sekarang lebih memilih menjadi porter. Sejak Gunung Rinjani menjadi primadona wisatawan, baik dalam dan luar negeri, profesi pengangkut barang dan penunjuk jalan ini menjadi favorit. Bayangkan, hanya dengan bekerja empat hari, mereka bisa mendapatkan uang enam ratus ribu rupiah, tunai. Ya, meskipun kerja mereka tidak bisa dibilang ringan. Memikul perlengkapan “kemah mewah” para pendaki yang enggan meninggalkan kenyamanan mereka di rumah. Bandingkan jika mereka harus bertani. Butuh waktu yang lama, belum lagi faktor cuaca yang memberi ketidak pastian yang tinggi atas resiko gagal panen.
Melihat lahan warisan almarhum amaq yang sudah lama tidak disentuh oleh kerabatnya, Aliq pun mencoba peruntungannya untuk menjadi porter. Selama sebulan ini sih cukup lancar. Pegal dan ngilu yang membakar bahu dan punggung, akibat pokok bambu yang menggantung di tubuhnya, dulu terasa begitu menyiksa ketika pertama kali ia membawa tamu. Namun sekarang, setelah beberapa kali bolak-balik naik turun Sembalun – Senaru, atau Sembalun – Sembalun, tubuhnya sudah baal. Rasa sakit tidak lagi menyerangnya.
“Boleh istirahat sebentar, Pak?” tanya tamu perempuan Aliq. Tampak kelelahan.
Meskipun cantik dan anggun, namun seringkali Puncak Anjani bertingkah kurang bersahabat, terutama bagi para pendaki pemula. Tubuhnya yang ramping dan dipenuhi kerikil-kerikil dapat menyurutkan semangat dan mengecilkan nyali siapapun yang mencoba mendakinya. Dua langkah naik, satu langkah turun, orang-orang tanpa keinginan yang kuat dapat dengan mudah menyerah dan kembali turun sebelum mencicipi keindahan negeri di atas awan di atas Puncak Anjani.
“Mbak ini hebat semangatnya!” Aliq membesarkan hati tamunya. Sepuluh menit yang lalu, tamu perempuannya ini baru saja memuntahkan isi perutnya. Angin dingin dini hari yang menderu sepertinya menghantamnya dengan begitu keras. Kelelahan yang membuncah memperkeruh suasana, membuat sang tamu meraih batas daya tubuhnya.
“Ayo Pak, jalan lagi!” ujarnya dengan nafas masih memburu.
“Mau minum dulu, Mbak?” tanya Aliq.
“Nggak, Pak,” jawabnya. “Saya ingin segera sampai di puncak. Ingin melihat matahari terbit di Puncak Anjani”.
Aliq kembali mengingat sosok Ana. Gadis manis yang begitu dirindukannya. Ia teringat pertemuan pertamanya dengan Ana. Sebuah sore di Lucky Plaza.
Hari Minggu adalah hari libur pabriknya. Semua pekerja rantau akan berbondong-bondong mendatangi pusat keramaian, deretan pertokoan, surga para pelancong berkantung tebal.
Meskipun tidak paham mengenai apiknya barang-barang bermerek, para pekerja impor ini tetap bergerak seperti laron, mengerubungi gedung-gedung tinggi tempat perputaran uang, meskipun tanpa membawa uang yang seberapa karena sebagian besar harus dikirim pulang ke kampung halaman.
Aliq yang pemalu enggan mengikuti kawan-kawannya yang mulai menebar senyum mengumbar janji, merayu perempuan-perempuan yang juga telah membanting tulang selama seminggu penuh, melayani tuan-tuan majikan mereka.
Aliq duduk mengamati, sambil menenggak es teh bercampur susu yang dibelinya di ujung jalan.
“Ajak aku ke pantai! Bawa aku ke gunung!” seru seorang perempuan dari samping Aliq.
Aliq menoleh ke sumber suara. Sedikit heran, karena di jajaran tempat duduk di lantai dasar Lucky Plaza itu hanya ada dirinya dan gadis itu.
“Kau bicara denganku, kah?” Aliq bertanya.
“Siapa sajalah yang mendengar!” jawabnya.
“Pantai apa? Gunung apa? Kau mengigau?” tanya Aliq bingung.
“Aku ingin melihat matahari terbenam di pantai dan matahari terbit di puncak gunung!”
Aliq terdiam. Mengingat kampungnya dengan rindu. “Jika kubawa kau ke Lombok, kau tentunya akan girang. Ratusan pantai mengelilingi pulauku. Semuanya indah. Matahari terbenam di bukit Malimbu, sambil menatap Pulau Dewata di seberang, tentunya akan memanjakanmu. Dan matahari terbit, jika kubawa kau mendaki puncak Anjani, kau akan mengucek mata dengan takjub tidak percaya,” batin Aliq.
“Siapa namamu?” tanya Aliq.
“Ana,” jawabnya.
“Kau aneh, Ana!” ujar Aliq, sudah jatuh cinta.
*
Semburat matahari sudah mulai menampakkan diri. Gelapnya malam sudah mulai kehilangan pekatnya.
“Masih jauh, Pak puncaknya?” tanya tamu perempuan Aliq.
“Sudah kelihatan, itu,” Aliq menunujuk, mencoba membesarkan hati tamunya.
Nafas gadis manis ini tersengal-sengal. Puncak Anjani sepertinya benar-benar melemahkannya. Ia sudah diambang kata menyerah.
“Semangat Mbak ini luar biasa, meskipun sudah ngos-ngosan, tapi sama sekali tidak mengeluh!” Aliq kembali menyuntikkan semangat. “Mbak benar-benar mirip Ana, kekasih saya di Singapura”.
Tamu perempuan Aliq tersengal diburu nafasnya. Ia yang sedari tadi menumpukan tubuhnya tidak lagi pada kedua kakinya, tapi pada genggaman tangan Aliq, dengan lemas berusaha menggapai batu dan terduduk lemas di atasnya.
Aliq ikut duduk. Dikeluarkannya dompet dari saku celananya, tempat foto Ana ia simpan baik-baik. “Ini Ana, kekasih saya di Singapura.”
Dengan kelelahan di matanya, gadis manis ini tetap menjaga kesantuanannya, berusaha menunjukkan antusiasnya, “cantik, Pak!” jawabnya tertatih.
“Ia petualang yang terkungkung,” ujar Aliq penuh rindu. “Ia ingin melihat matahari terbenam di pantai dan sama seperti mbak, melihat matahari terbit di puncak gunung!”
Gadis di samping Aliq memaksakan diri untuk tersenyum menanggapi. Meskipun kelelahan sudah menggoyah kesadarannya.
“Dia begitu bahagia ketika suatu sore saya bawa dia ke pantai. Pantai biasa, di Singapura tidak ada pantai dengan air biru berkilauan seperti di sini. Tapi begitu saja dia sudah sangat bahagia,” Aliq mengenang senyum Ana. “Untuk melihat matahari terbit di puncak gunung, saya masih hutang!”
“Dari kecil dia tinggal di kota. Dikurung gedung-gedung tinggi,” tambah Aliq. “Ana lahir di rumah majikannya. Ibunya diperkosa, tapi Ana tidak diakui anak. Cuma diakui pembantu. Mana majikannya galak dan suka mukul lagi. Pernah nyaris dibunuh saya, ketahuan menginap di kamar Ana”.
“Sekarang, setiap melihat pantai, cuma senyumnya yang saya ingat,” pikiran Aliq menerawang, menatap puncak Anjani. “Dan tiap memandang matahari terbit dari puncak Anjani, saya ingat janji saya untuk melihat matahari terbit bersamanya yang belum terpenuhi”.
“Kenapa pulang ke Lombok kalau Bapak cinta sama Ana? Kenapa Ana tidak diajak?” tamu perempuan Aliq tampaknya telah berhasil mengatur nafas.
“Yah, Mbak. Saya di PHK dari pabrik. Kerja serabutan di pelabuhan, kiriman ke rumah tidak cukup. Anak sulung saya kabur dari rumah. Dia marah karena saya tidak sanggup membelikan dia motor. Katanya malu ditertawakan teman-temannya. Ya, daripada dia kenapa-kenapa, lebih baik saya pulang. Bagaimanapun juga keluarga itu nomor satu,” jawab Aliq. “Cinta itu barang mewah, sudah bisa mencicip rasanya saja sudah luar biasa”.
“Boleh saya lihat fotonya Ana lagi, Pak?” pinta tamu perempuan Aliq.
“Ini, Mbak,” Aliq menyodorkan foto gadis yang begitu dikasihinya. “Tapi hati-hati ya Mbak, ini foto Ana satu-satunya. Foto dia yang lain sudah habis dibakar istri saya”.
Gadis di hadapannya melirik tidak setuju, tapi memutuskan untuk tidak berkata apa-apa.
“Ayo Mbak, masih kuat kan? Ayo kita jalan lagi, Pelan-pelan nggak papa, puncak Anjani dan matahari pagi masih setia menunggu!” ajak Aliq, menawarkan tangannya.
Dengan sisa-sisa tenaga, setelah berhasil kembali mengumpulkan tekadnya yang sempat porak poranda, tamu perempuan itu menyambut uluran tangan Aliq. “Masih kuat, Pak!”
“Kalau sudah tidak kuat, nanti saya gendong!” ujar Aliq, membayangkan menuntun Ana, gadis petualangnya, untuk menggapai Puncak Anjani, memenuhi janjinya, yang mungkin tidak akan pernah terwujud.