Cendana

Namaku Cendana. Aku tinggal di sebuah pulau di ujung Republik. Di mana-mana, yang namanya ujung, biasanya seringkali terlupakan. Terlalu jauh untuk dijangkau. Tidak begitu penting untuk diperhatikan. Begitulah kondisi pulauku.

Sejujurnya aku belum pernah pergi ke luar pulau. Aku tidak tahu ada apa di luar sana. Tapi terkadang, jika ayah menyuruhku ikut mengantarkan tamu-tamu yang datang, aku sering mencuri-curi waktu menonton televisi, melihat dengan takjub apa yang sedang terjadi di ibu kota Republik, juga hal-hal lain yang terjadi di pulau-pulau yang tersebar merantai di seantero nusantara. Berita sore yang mengabarkan kemacetan lalu lintas, selalu membuatku terkagum-kagum. Beruntungnya orang-orang yang tinggal di ibu kota Republik. Semua bisa punya uang yang melimpah untuk membeli mobil dan menggunakannya setiap hari di waktu yang bersamaan. Di sini, hanya pejabat dan orang kaya pemilik tanah yang bisa membeli mobil. Itu pun jarang dipakai. Biasanya ayah, yang merupakan salah satu keturunan pemangku adat yang sangat dipercayai oleh masyarakat, berusaha membujuk para pemilik mobil untuk meminjamkan mobilnya, sehingga ia bisa mengantarkan para tamu yang datang mengunjungi pulau kami.

Aku juga selalu terkagum-kagum jika menonton acara pertunjukkan musik di televisi. Semua penampil yang ada di sana terlihat begitu bercahaya. Wajahnya putih tanpa cacat, matanya berkilauan, rambutnya lurus, hitam, dan tebal, pakaiannya luar biasa indah, sepatunya cantik membalut kaki-kaki yang jenjang. Mereka yang tinggal di ibu kota Republik, yang berlalu-lalang mengisi acara televisi, benar-benar makhluk yang sempurna. Sangat berbeda denganku, ayah, ibu, dan semua orang yang tinggal di pulau terpencil dan terlupakan di ujung Republik ini. Wajahku hitam legam, rambutku kaku kemerahan terbakar matahari, telapak kakiku kasar karena setiap hari berjalan lebih dari lima kilometer tanpa alas kaki di atas aspal panas untuk menuju sekolah.

Hari ini sekolah libur. Ayah menugaskanku untuk menemani Dani mengantarkan tamu-tamu yang datang dari ibu kota Republik. Sebenarnya ayah lebih suka mengantarkan sendiri tamu-tamu yang datang. Ayah adalah pemandu yang sangat baik. Ia tahu segala sesuatu tentang pulau ini. Sudah ribuan kali aku mendengar cerita ayah tentang pulau kami, tapi aku tidak pernah bosan. Ayah sangat mencintai pulau ini. Aku yakin siapapun bisa merasakannya hanya dengan mendengar cerita-cerita ayah.

Meskipun ingin, kali ini ayah tidak bisa mengantarkan tamu-tamu yang datang karena ia tengah sibuk mempersiapkan banyak hal. Hari Rabu depan adalah hari yang penting bagi Republik. Hari itu akan diadakan pemilihan umum untuk memilih para pemimpin wilayah. Ayah dengan partai lingkungan hidupnya, mencoba mencalonkan diri sebagai salah satu pemimpin wilayah di bagian barat pulau. Tapi ayah tidak punya uang. Ayah punya banyak dukungan dari rakyat, tapi seperti mayoritas penduduk pulau kami, tidak ada satupun yang punya banyak uang. Kalaupun ada, tentunya tak akan ia berikan kepada ayah dan perjuangannya.

“Jadi tidak akan ada foto ayah di spanduk-spanduk besar itu?” tanyaku suatu hari.

Ayah tertawa, “tidak ada, Cendana!”

“Lalu kenapa ayah masih saja sibuk berkumpul dengan orang-orang partai?” tanyaku.

“Untuk memastikan bukan para penjahat dan antek-anteknya yang akan menguasai pulau kita, Nak!” jawab ayah.

“Tidak ada apa-apa, Yah, di pulau kita. Untuk apa para penjahat berusaha menguasainya?” tanyaku.

“Siapa bilang?” Ayah menyanggahku. “Pulau ini punya harta warisan yang berharga”.

“Apa?” tanyaku. “Pulau ini miskin. Tidak ada artinya jika dibandingkan dengan ibu kota Republik”.

Ayah merangkulku. “Pulau ini punya kamu, Cendana. Dan ribuan bahkan ratusan ribu pemuda-pemudi seperti kamu. Kalau para penjahat itu berhasil merusak kalian, pulau ini akan semakin terpuruk,” jawab Ayah. “Tugas Ayah melindungi kalian dari penjahat-penjahat itu. Hingga nanti kalian akan tumbuh dewasa dan bisa menggantikan Ayah untuk melindungi pulau kita ini”.

Aku sering tidak memahami perkataan ayah. Terlalu rumit untukku. Tapi aku yakin ayah adalah orang yang baik. Aku sangat menyayangi dan mengaguminya. Dan aku rasa sebagian besar masyarakat di lingkungan kami juga merasakan hal yang sama.

*

Dani menjemputku pagi-pagi buta. Aku sudah siap dengan pakaian terbaikku. Kata ayah, kita harus memuliakan tamu. Meskipun musim hujan tak kunjung datang, kekeringan masih melanda pulau kami, dan air masih sulit dijumpai, tapi ayah tetap menyuruhku mandi. “Jangan bikin malu!” kata Ayah padaku dan Dani sebelum kami berangkat.

Dani adalah salah satu orang kepercayaan ayah. Tadinya aku takut padanya. Wajahnya bengis dan ia hanya punya satu mata. Sebelah matanya hilang ketika ia ikut bertanding di upacara adat pasola. Ia orang buangan. Ketika remaja ia diusir oleh keluarga dan desanya karena ia memukuli gurunya hingga hampir mati. Ia sering ngebut dan tidak segan-segan melindas ayam bahkan anjing yang melintas di jalan.

Tapi kata ayah ia baik. Ia selalu membela dan melindungi ayah jika ada yang mengancam akan menyakiti ayah. Kata ayah Dani pemberani dan setia. Ia hanya sedikit keras kepala. Katanya aku harus pintar-pintar bersikap untuk bisa mengambil hatinya.

Tamu kami datang dari arah barat, dari pulau seberang dengan menggunakan kapal feri. Ada dua pulau tetangga yang terletak di sisi barat dan timur pulau kami. Pulau tetangga yang terletak di sebelah barat terkenal dengan gunung api yang pernah sangat tinggi, namun meletus dan menyebabkan dunia tertutup debu sehingga tidak ada musim panas selama satu tahun penuh. Sementara pulau tetangga yang terletak di sisi timur terkenal dengan danau cantiknya yang bisa berubah-ubah warna dan pulau satelit kecil yang berisi ribuan naga hampir punah yang hanya tinggal satu-satunya di dunia. Butuh sembilan jam perjalanan laut, uang yang cukup untuk membeli tiket, dan keberanian yang besar jika aku ingin mengunjungi kedua pulau tetangga tersebut. Suatu saat nanti aku pasti akan mengunjungi keduanya. Suatu saat nanti.

Lima orang pemuda-pemudi sudah menunggu kedatangan kami di pelabuhan barat. Aku terkagum-kagum melihat mereka. Mereka tampak tangguh dengan tas-tas besar yang menempel di punggung mereka dan sepatu-sepatu kulit yang gagah. Aku menatap kakiku yang tanpa alas. Rasa sedih, malu, dan sedikit iri timbul di hati ini. Beruntungnya mereka yang lahir di ibu kota.

Dani dan aku turun untuk membantu mereka memasukkan barang-barang ke mobil yang kami pinjam dari orang kaya di kota. Ada dua nona dan tiga abang di rombongan ini. Semuanya menyapa kami dengan ramah.

Aku memperkenalkan diri, “Namaku Cendana. Kata ayah, dulu pulau ini terkenal dengan kayu cendananya. Meskipun kata ‘Cendana’ sudah dirusak oleh para petinggi Republik di masa lalu, aku harap nona-nona dan abang-abang mengingatku sebagai sesuatu yang baik, seperti kayu cendana yang wangi dan bisa menyembuhkan penyakit dan menghilangkan rasa cemas”.

Nona-nona dan abang-abang dari ibu kota Republik itu tertawa mendengar perkenalan diriku.

“Ini Dani. Mukanya bengis, tapi hatinya baik. Jangan takut nona-nona dan abang-abang padanya!” aku memperkenalkan Dani. Para tamu masih terus tertawa.

Ayah selalu bilang kita harus ramah dengan para tamu. Kesan pertama itu penting. Katanya jika kita baik, maka orang akan baik pula pada kita. Jika kita menolong orang, orang akan menolong kita pula. Ayah percaya hal itu. Dan aku percaya pada ayah.

Tamu-tamu dari ibu kota Republik ini ingin mengunjungi tempat-tempat cantik di pulau kami. Pantai bakau, desa tenun, dan bukit padang rumput keemasan di bagian timur pulau, serta danau air asin, pantai karang yang begitu jernih, air terjun berundak-undak, dan desa tradisional di bagian barat pulau.

Butuh dua hari untuk bisa mengunjungi semua tempat wisata yang diinginkan oleh tamu kami ini. Nona-nona dan abang-abang ini terlihat begitu terpesona dan takjub dengan keindahan pulauku. Aku merasa bangga menjadi bagian dari padanya, meskipun tidak sedikitpun ada andilku terhadapnya.

Suatu kejadian menarik terjadi ketika kami mengunjungi pantai karang di sebelah barat pulau. Rupanya seorang kulit putih berkantung tebal telah membeli sebidang tanah di dekat pantai karang tersebut dan memagarinya sehingga tidak semua orang bisa masuk mengunjungi pantai cantik ini.

Aku kesal dengan orang-orang yang ingin memiliki keindahan untuk dirinya sendiri. Atau mengkomersilkan ciptaan Tuhan untuk menimbun kekayaan. Tapi katanya begitulah cara kerja dunia modern. Mereka yang punya uang bebas melakukan segalanya. Kami yang tidak punya uang, dianggap malas, semua kemalangan kami adalah salah kami sendiri. Dan semakin lama, kami akan semakin terpinggirkan. Mungkin pada saatnya kami akan musnah tidak bersisa. Mati tanpa harga.

Di depan pagar berdiri anak-anak seusiaku. Mereka girang melihat kedatangan kami. Mereka menyuruh kami turun dan menggandeng kami, menunjukkan jalan alternatif untuk menuju pantai karang tanpa harus melewati pagar. Kami patuh. Mengikuti ke mana mereka pergi.

Dan kami sampai di pantai karang yang memang begitu indah.

“Minta uang,” ucap salah seorang anak.

“Kami miskin!” tambah anak yang lain.

Aku terkejut mendengarnya. Aku juga miskin. Aku tahu itu. Aku tidak punya harta, sepatu pun tidak punya. Sering tidak ada makanan di rumah, bahkan air bersih pun jarang kami punya. Tapi aku tidak pernah memamerkan atau memperdagangkan kemiskinanku.

Mungkin ini yang sedang ayah perjuangkan. Mungkin anak-anak ini tidak memiliki orang seperti ayah yang berusaha melindungi mereka, seperti ayah melindungiku. Uang sepertinya sudah merusak anak-anak ini, seperti uang merusak para penjahat-penjahat yang menguasai Republik. Mereka yang sudah mengenal uang, cenderung mengasosiasikan uang dengan kebahagiaan. Uang kemudian dijadikan tujuan dan pembenaran atas segala sesuatu yang mereka lakukan.

Anak-anak ini merasa sudah membantu kami, maka mereka mengharapkan uang sebagai imbalan. Uang merusak manusia. Dan jika tidak ada orang-orang seperti ayah, uang akan merusak pulauku. Rupanya begitu.

Sama sepertiku, Dani tampak terkejut dan kesal. Ia memarahi anak-anak ini dan mengusir mereka pergi. Tidak ada yang berani melawan Dani. Seperti yang sudah kubilang sebelumnya, wajah Dani begitu bengis. Matanya hanya tinggal sebelah.

Nona-nona dan abang-abang tamu kami terlihat terkejut dengan apa yang Dani lakukan. Mereka berkata kalau mereka tidak keberatan untuk membayar anak-anak tersebut. Mungkin di ibu kota sudah wajar hal seperti ini terjadi. Seperti orang-orang di televisi itu. Menyanyi dibayar uang, berbicara dibayar uang, tersenyum juga dibayar uang. Uang sudah mengatur hidup semua orang. Uang sudah menjadi dasar interaksi dan ukuran kebahagiaan seseorang. Aku rasa hal ini tidak benar.

Perjalanan kami berakhir di hari ketiga. Nona-nona dan abang-abang ini akan kembali ke ibu kota Republik dengan mengarungi laut menggunakan kapal feri. Aku dan Dani mengantarkan mereka ke pelabuhan barat. Kami saling berpamitan dan berpelukan.

“Terima kasih banyak, Cendana!” ujar salah seorang Nona.

“Kami sudah berkeliling Republik dari pulau utama, hingga ke ujung pulau ini, dan kamu adalah pemandu terbaik yang menemani perjalanan kami. Keramahanmu, cerita-ceritamu, telah memberikan kami pengalaman yang luar biasa,” tambah seorang Abang.

Aku terharu mendengar pernyataan nona-nona dan abang-abang ini.

*

Dani mengantarkanku pulang. Aku tidak sabar untuk menceritakan apa yang kupelajari dari perjalananku ini kepada ayah dan ibu.

Kulihat ibu sedang duduk di meja makan, “Ibu!” seruku.

Ibu menoleh, matanya sembab, tangisnya meledak ketika melihatku.

“Ayah hilang, Cendana!” seru ibu.

Apa yang ibu bicarakan?

Bagaimana mungkin seorang manusia dewasa seperti ayah bisa hilang?

Ibu menunjukkan topi kesayangan ayah. Ada sedikit bercak darah di bagian dalamnya.

Dua hari sebelum pemilihan umum untuk memilih pemimpin wilayah ayahku hilang. Si lantang pelindung pulauku dibungkam.

Hilang.

Dihilangkan.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: