Sejak pertama kali membaca cerita pendek Budi Darma, saya merasa ada sedikit jarak antara saya sebagai pembaca dan beliau sebagai penulis yang tidak berhasil saya seberangi. Mungkin pemahaman saya saja yang tidak sampai. Atau mungkin juga hanya masalah selera. Tetapi secara utuh dan objektif saya paham benar dan mengakui kalau karya-karya Budi Darma adalah karya matang dengan teknik penceritaan yang luar biasa, yang pantas dibahas tuntas di kelas-kelas sastra di universitas, maupun di diskusi sastra di mana saja.
Menjadi tamu kehormatan di ASEAN Literary Festival tahun ini, Budi Darma kembali menjadi sorotan. Saya merasa memiliki kewajiban untuk memberi kesempatan kembali pada karya-karya Budi Darma untuk merebut hati saya. Seorang teman memberi saran, saya harus mencoba membaca novelnya. Di situ kekuatan Budi Darma yang sebenarnya. Saya menurut dan mencoba mulai mencari Olenka ini, yang ternyata cukup langka dan sulit didapat. Bermodal meminjam dari seorang teman yang baik hati, saya pun mulai membangun jembatan antara pemahaman saya dan maksud penceritaan Budi Darma, untuk menimbun jarak yang terbentang. Tapi sepertinya masih sulit. I am sure it is not you, it is me!
Meskipun saya dan karya-karya Budi Darma belum berhasil tersinkornisasi dengan sempurna, namun terdapat beberapa hal di novel Olenka ini yang benar-benar menarik perhatian saya. Pertama, adalah konsep Kesatuan Afinitas. Di novel ini dijelaskan bahwa sang tokoh utama, Fanton Drummond memiliki Kesatuan Afinitas dengan Olenka. Tanpa dapat dijelaskan dengan logis, kedua tokoh ini sering tertarik pada hal-hal yang sama, dipertemukan secara tidak sengaja di tempat yang tak terduga, atau mengalami kejadian-kejadian yang entah bagaimana bisa saling berhubungan. Mungkin bagi sebagian orang, konsep ini terlalu mengada-ada, atau lebih mudah disederhanakan sebagai ‘kebetulan’ semata. Tetapi, entah bagaimana, saya percaya konsep ini bisa terjadi. Dua orang dengan Kesatuan Afinitas bisa secara ajaib terhubung meskipun berjauhan, dengan ‘kebetulan-kebetulan’ yang paling tidak masuk akal sekalipun.
Hal selanjutnya yang menarik perhatian saya di novel ini adalah banyaknya digresi, atau bagian yang tidak langsung bertalian dengan tema dan alur karya sastra di karya ini. Budi Darma banyak mengutip karya sastra lain, berita di koran, maupun fakta-fakta yang menarik, tapi tampak menyimpang dari cerita yang sedang dibangun. Tapi jika sedikit dianalisis dan diberi penafsiran, mungkin pembelokan ini sengaja dilakukan untuk mendukung cerita. Namun bedanya, jika biasanya di novel lain kita dituntun atau dibiarkan berjalan sedikit memutar, di novel ini kita seperti dianjurkan untuk melakukan lompatan. Kita harus memberikan usaha lebih untuk menghubungkan jejak-jejak samar yang ditinggalkan oleh penulis.
Terakhir, dengan latar belakang tempat yang jauh dari nusantara, dan dengan tokoh-tokoh yang bukan merupakan warga negara Indonesia, secara ajaib, Olenka tetap kental terasa sebagai bagian dari Sastra Indonesia karena penggunaan Bahasa Indonesianya yang luar biasa. Hal ini membuktikan bahwa sastra adalah bahasa, terlepas dari cerita, maksud, dan makna yang ingin disampaikannya.
Buku ke-19 tahun ini dan buku ke-15 di 2016 Reading Challenge: A Classic from 20th Century