Pendakian Semeru, Mei 2015 bagian ketiga (tamat)
Malam ini, untuk mengumpulkan potongan-potongan cerita perjalanan Semeru, perjalanan yang kata Fariz memulai segalanya, saya harus meruntun arsip media sosial media saya hingga 12 bulan lalu. Ingatan saya memang kurang bisa diandalkan.
Baru saja saya mendapatkan koreksi dari Delta, yang dari dulu memang selalu awas terhadap hal-hal yang rinci. Katanya, “Ada catatan yang perlu diluruskan. Untuk bagian pertama, nama Talenta waktu itu belum ada. Talenta baru terbentuk setelah pulang, setelah Fariz menunjukkan sebuah band dangdut yang bernama Talenta 2000. Untuk bagian kedua, si Delta tidak meninggalkan sedikitpun barang di Ranu Kumbolo, karena barang bawaannya sudah sangat efektif dan efisien”. Terima kasih atas koreksinya.
Meskipun seringkali luput akan rincian kejadian, tapi pengalaman menuju Puncak Mahameru, tidak akan dapat saya lupakan. Ini adalah salah satu cobaan terberat dalam hidup saya.
Mendaki gunung berapi aktif yang masih sering memuntahkan gas beracun yang dapat membunuh manusia dengan mudah, kami harus sangat berhati-hati dalam memperkirakan waktu pendakian ke puncak. Puncak Semeru begitu ‘berbahaya’, sehingga kencang terdengar himbauan untuk tidak menjajal puncaknya.
Kami sebenarnya enggan nekat, tapi sebelum bergerak ke Kalimati, kami mendapatkan wejangan dari penjaga di Ranu Kumbolo. Katanya, “Jika sampai tengah malam tidak ada aktivitas alam yang mencurigakan, Puncak Mahameru aman untuk didaki”. Berbekal anjuran itu, kami pun semakin yakin untuk terus mendaki puncak tertinggi di Pulau Jawa ini.
Pukul 11 malam kami sudah mulai dibangunkan. Dinginnya Kalimati yang benar-benar menusuk tulang membuat saya yang semalaman tidur dengan gelisah bersemangat untuk bangun. Lebih baik bergerak dan beraktivitas daripada terkelungkup kedinginan di dalam tenda.
Kami berkumpul dalam rombongan besar kami, meskipun tidak semua orang memutuskan untuk berangkat. Setelah diberi penjelasan singkat dari ketua rombongan dan berdoa bersama, kami siap untuk merayap melawan gelap, memberontak terhadap dinginnya udara malam.
Ini adalah summit attack kedua saya. Yang pertama di Gunung Rinjani. Meskipun berhasil sampai ke Puncak Anjani, saat itu saya benar-benar babak belur. Baru sepertiga perjalanan saya sudah memuntahkan seluruh isi perut saya. Asam lambung saya naik karena kelelahan yang luar biasa.
Berkaca dari pengalaman tersebut, sejujurnya saya sangat takut hari itu. Saya tahu perjalanan akan berat dan Puncak Mahameru terkenal sangat garang, namun entah bagaimana, tidak sedikitpun saya merasa ragu. Saya benar-benar takut, namun sama sekali tidak ragu, seolah tidak ada pilihan lain selain maju dan menjajal Puncak Mahameru.
Menemukan ritme yang pas dan memanaskan tubuh yang sempat kaku karena kedinginan membuat langkah awal pendakian kami terasa berat. Jika terlalu lelah, gigi graham saya selalu sakit dan ngilu, nafas saya memburu, dan keringat dingin saya membanjir. Namun karena jalur sangat ramai dan padat, mental saya terkuatkan. Semua mengalami hal yang sama.
Selain menyiksa fisik, summit attack Semeru juga merupakan pertempuran mental. Pendakian terjal sejauh 976 meter seringkali membuat para pendaki menyerah di tengah jalan. Di perjalanan kami ini pun kami menjumpai banyak pendaki yang mundur, bahkan yang menyebalkannya berusaha menjatuhkan mental pendaki lain untuk ikut menyerah bersama mereka. Malam itu saya memang sangat lelah, namun entah bagaiman tidak ada sedikitpun niatan untuk mundur dan kembali ke tenda.
Setelah lewat batas vegetasi, mental saya menciut. Terlihat kelap-kelip lampu para pendaki yang sudah mengular hingga nyaris ke puncak. Semakin terlihat tingginya puncak gundul Semeru dari bawah. Sempat terbersit di kepala, “Bagaimana cara bisa sampai ke puncak sana? Tinggi sekali!”
Awal pendakian Puncak Gundul Semeru teramat sangat berat. Para pendaki diharuskan untuk merayap menggapai kerikil-kerikil dengan konsekuensi tenarnya, ‘dua-satu’, dua langkah naik, satu langkah turun. Terus seperti itu. Kepanikan mulai menjalari tubuh saya. “Begini terus sampai atas? Mau sampai puncak jam berapa? Apakah saya mampu?”
Meskipun takut dan sempat meragukan kemampuan diri, namun saya terus merayap, masih seolah-olah tidak ada pilihan lain untuk mundur dan kembali.
Tidak berapa lama, siksaan kerikil ini tiba-tiba berakhir. Tiba-tiba ada jalur mengular yang membuat para pendaki bisa berdiri tegak kembali. Sepertinya jalur ini memang sengaja dibuat untuk memudahkan para pendaki. Terpujilah bagi manusia-manusia mulia yang membuat jalur ini. Tidak hanya memudahkan, tapi jalur ini benar-benar memberikan kekuatan mental kepada para pendaki yang mungkin nyaris menyerah dan putus asa.
Tahun lalu, kami memilih mendaki Semeru di waktu yang benar-benar favorit. Seperti musim haji, sepertinya semua pendaki berbondong-bondong menjajal gunung tertinggi di Pulau Jawa ini secara bersamaan. Alhasil, terjadi kemacetan yang sangat panjang menuju puncak. Antrian manusia, di tanjakan terjal penuh kerikil, pasir, dan batu-batu.
Berdiri menunggu, di tengah malam yang dingin, beberapa kali saya sempat tertidur tanpa sengaja. Lelah dan ngantuk, kombinasi yang sangat pas. Kesal karena harus menunggu lama, lucunya, para pendaki yang di bawah bukannya marah-marah, malah memberi semangat pada pendaki yang melambat karena kelelahan di atas. “Ayo semangat, lebih cepat lagi! Pasti bisa!”
Begitu kerucut puncak semakin ramping, dan jalur buatan berliku harus habis, para pendaki harus kembali merayap. Berbeda dengan summit attack Rinjani di mana langkah saya terasa begitu berat, dan saya harus bertumpu di tangan porter, pendakian menuju Puncak Semeru ini terasa jauh lebih menguatkan. Badan saya tetap lelah, sedikit-sedikit saya berhenti untuk beristirahat, namun langkah saya mantap. Tetap merayap maju, meskipun stamina sudah kedodoran dan nafas sudah putus-putus.
Kesimpulan saya, summit attack itu lebih banyak faktor mental dibanding fisik. Saya rasa semua orang di titik ini sudah kehabisan tenaga, sudah kepayahan secara fisik, yang membedakan adalah apa yang ada di kepala. Jika perang antara keyakinan melawan keraguan berhasil dimenangkan oleh keyakinan, maka langkah-langkah yang berat ini akan tetap mantap. Tidak menjadi lebih ringan, tapi bisa terdorong untuk terus bergerak.
Fitri dan Kaca bergerak dengan pasti di depan saya, memberikan suntikan semangat dan motivasi. Saya tinggal memijak bekas pijakan mereka, dan saya akan baik-baik saja. Mas Basuki, Jangier, dan Delta terkadang berpapasan di sekitar saya, namun datang dan hilang. Adit dan Dhini mendapat kendala berat, membuat langkah mereka harus terhenti dan kembali ke tenda. Kris, entahlah, saya tidak berhasil melihatnya, sepertinya sudah jauh di depan sana. Terakhir, Fariz, sepertinya tempo kita tidak jauh berbeda, sepertiga rayapan terakhir saya berjalan bersamanya.
Sepanjang jalan saya mendengar Fariz komat-kamit, seperti berdzikir. Saya mencoba mendengarkan dengan lebih seksama. Ternyata Fariz mengucapkan mantra, “This too shall pass!” sebuah kalimat sederhana, yang kemudian sering kami pergunakan untuk saling menguatkan di pendakian-pendakian kami selanjutnya.
Delapan jam mendaki, merayap, merangkak, dan akrobat gaya bebas, akhirnya kami sampai di Puncak Mahameru. LELAH LUAR BIASA. Senang dan antusias masih belum muncul, masih kalah telak dengan kelelahan yang luar biasa. Saya hanya bisa tergeletak di Puncak, mengumpulkan energi yang menguap nyaris tanpa sisa.
Baru setelah dua puluh menit, saya bisa bangkit, dan mulai tersadarkan akan keindahan luar biasa yang membayar lunas semua perjalanan penuh peluh dan rasa sakit. Berdiri di kelilingi awan, seperti menyentuh langit biru. Ini sensasi yang dicari. Perasaan takjub dan terpukau seperti inilah yang membuat gunung selalu membuat rindu.
Kami menghabiskan waktu dengan berkeliling, mengagumi atap pulau Jawa ini, dan mengabadikannya dengan foto-foto yang akan menjadi kenangan berharga.
Meskipun rasanya luar biasa ketika kaki dan tubuh ini menyentuh puncak, tapi rasanya kami tidak sanggup untuk mengulanginya. Kami sepakat bahwa, Mahameru adalah puncak yang sekali saja seumur hidup. Tidak perlu diulang. Ini puncak yang keterlaluan.
*
Semeru adalah pengalaman yang luar biasa. Pendakian ini adalah momentum berharga yang menjadi awal dari segalanya.
Satu hal yang begitu saya suka dari mendaki adalah proses keterhubungan antara para pendakinya. Orang-orang yang tadinya belum saling mengenal bisa mendadak jadi akrab, seperti kakak adik yang bertemu kembali setelah lama terpisahkan. Seperti sahabat yang sudah lama saling merindukan.
Sepanjang perjalanan naik dan turun, saya belajar dan menyerap banyak hal. Saya mendapatkan teman dan sahabat baru yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya. Saya mengenal lebih dalam karakter teman dan sahabat saya yang mungkin saya pikir sudah saya pahami sebelumnya. Saya mendapat segudang cerita yang begitu berharga, yang pastinya akan terus saya ulang hingga ke anak cucu saya. Dan yang terpenting, saya belajar untuk semakin mengenal dan yakin pada diri saya.
Sampai detik ini, Talenta yang lahir dari perjalanan Semeru di tahun lalu masih tetap ada. Meskipun tidak lengkap selalu bersama, tetapi dalam setahun ini kami sudah melakukan ekspedisi-ekspedisi lanjutan yang tidak kalah seru dan penuh cerita. Tidak hanya gunung, kami juga mencoba mengeksplorasi pantai, taman, air terjun, bahkan konser musik di berbagai kota.
Genap setahun Semeru kita, jangan biarkan rindu ini menggantung terlalu lama. Ayo, Kerinci kita!
[Tamat]