Seperti biasa, karya-karya Okky Madasari selalu berhasil menggelitik kesadaran sosial kita tentang isu-isu yang terjadi di masyarakat. Kali ini tentang kegelisahan terhadap teknologi, identitas, eksistensi dan keberartian seseorang yang hidup di dua dunia, nyata dan maya.
Banyak hal yang akrab dan dekat dengan pengalaman sehari-hari, namun banyak pula hal asing yang cukup menarik dan mengundang rasa ingin tahu. Orang-orang dengan nama besar di dunia maya, yang hidup di balik topeng yang menutupi identitas aslinya, apa sebenarnya motif di balik keputusan mereka? Pengecutkah? Tukang kibulkah? Atau mungkin malah punya intensi tulus untuk berjuang melalui kata-kata dan menuntut keadilan, seperti Batman atau Superman yang juga menutupi identitas mereka? Walaupun bukan topik yang menyayat-nyayat hati nurani ataupun membuat saya pribadi menjadi geram, namun saya yakin kegelisahan Mbak Okky juga banyak dirasakan oleh orang-orang yang aktif berkerumun di dunia maya negeri ini. Saya sendiri sepertinya terlalu apatis di dunia maya, kurang gaul, terlalu sibuk dengan update-update tentang diri saya dan orang-orang terdekat saya, serta hanya peduli pada hal-hal yang menarik bagi diri saya sendiri.
Terlepas dari tema utama yang ingin disampaikan oleh novel ini, hal yang justru benar-benar menarik perhatian saya dari Kerumunan Terakhir adalah hubungan antara Jayanegara dan ayahnya. Hubungan antara seorang anak lelaki yang membenci ayahnya karena mengkhianati ibu dan keluarganya, namun tidak berdaya karena terbelenggu oleh nama besar sang ayah. Saya merasakan kegelisahan yang kompleks di sini. Saya merasa Mbak Okky berhasil bermain-main dengan ego dan maskulinitas seorang pria muda di sini. Mengingatkan saya pada ulasan mengenai “frustasi sosial” dan “impotensi pemikiran” yang diulas di artikel Rolling Stone Indonesia ini: https://t.co/y8XXRZvkJL