Dalam pengantarnya untuk buku ini, Sapardi Djoko Damono memberikan penjelasan mengenai hubungan antara sastra, aksara, dan bunyi. Sastra adalah aksara, urusannya dengan mata. Berbeda dengan bunyi yang kita dengar melalui telinga. Tapi puisi dapat membuat kita ‘melihat’ bunyi.
“Aksara ternyata tidak pernah bisa mengubur bunyi: kita cenderung melisankan kembali apa yang sudah kita ubah menjadi ujud visual,” kira-kira begitu menurut Pak Sapardi.
Di buku kumpulan puisi ini, saya merasa dipaksa untuk mendengar dongeng isi kepala Aan Mansyur. Ketika hanya membacanya dengan mata, saya seperti tidak bisa merasakan apa-apa, tapi ketika saya melafalkan aksara membentuk kata, meskipun dengan suara yang lirih, makna itu secara ajaib kemudian baru hangat terasa.
Puisi adalah bunyi, yang mengkristal menjadi aksara dan kata.
Dari semua hal yang dibahas di kumpulan puisi ini, baik yang literal maupun yang berupa simbol, saya paling tertarik dengan penggambaran Bulan, Matahari, dan Langit.
Nama saya yang berarti ‘bulan’ membuat saya merasa memiliki kedekatan personal dengan gambaran bulan di puisi-puisi di buku ini.
Bintang. Ah Bintang, saya selalu kagum dengan bintang. Bahkan saya rasa saya benar-benar mencintai sosok bintang. Bintang selalu mengingatkan saya pada jarak dan waktu. Bintang terlihat indah karena dia berada jauh dari jangkauan kita. Namun ketika ia terlalu dekat, ia akan membakar dan memusnahkan. Pendar cahaya bintang terasa manis dan romantis karena dia setia, terus menyala, merambat mengarungi waktu, bahkan mungkin ketika binarnya tertangkap mata, sang bintang telah mati. Dan bintang, ketika ia mati, dia mengisap. Membuat semestanya merintih karena dipaksa memaknai pahitnya kata ‘tiada’.
Sekarang langit. Sepertinya saya sedang jatuh hati kepada langit. Langit yang tanpa batas dan menyimpan banyak tanya. Langit yang tidak bisa dikekang atau digapai, tapi selalu ada. Langit yang bisa indah berwarna-warni, gelap dan pekat, bahkan menangis meraung-raung. Langit yang dalam puisi ‘Masa Kecil Langit’ ditulis dengan gamblang, “Ia hanya menginginkanmu menunggu. Ia akan pergi tanpa kauminta”.
Kumpulan puisi di buku ini tidak bisa tidak mengundang tafsir. Membuat pembaca menerka-nerka apa yang ada di kepala penulis, sekaligus mengusik apa-apa saja yang mengerak di kepala dan mendebarkan dada pembaca.