Slamet Menempuh Hidup Baru

“When people are in close relationships, their self becomes intertwined with their partner’s self. We begin to think of a partner as a part of ourselves – confusing our traits with their traits, our memories with their memories, and our identity with their identity. When a relationship ends, the loss of a partner can, to some extent, cause the loss of the self.”

Arthur Aron, psychologist.

4 November 2015, seorang sahabat kecil saya, salah satu yang paling lama, mengirimkan undangan pernikahannya. Kedekatan kami cukup rumit, sehingga undangan tersebut terasa seperti surat pemutusan hubungan pertemanan secara resmi antara saya dan dia.

Saya menunjukkan undangan tersebut kepada Fariz, seorang teman yang (saya yakin menyesali keputusannya) telah menandatangani surat perjanjian mendengarkan curahan hati saya kapanpun diperlukan di atas materai.

“Kalau lo jadi gue, apakah lo akan datang?” tanya saya.

“NGGAK LAH!” jawab Fariz, dengan huruf capital khas-nya. “Mending naik Guntur. Yuk! Atau naik yang heboh sekalian. Slamet. Terus teriak di atas, ‘LIFE SUCKS!’, ala-ala Realita Cinta dan Rock n Roll”.

Jeda dua menit saya menjawab, “I am in!” saya rasa itu refleks. Jawaban reaktif dan impulsif.

“GILA! Lo sepatah hati itu lho, sampai naik gunung tertinggi kedua di Jawa juga lo iyakan. Semoga ketinggian bisa membuat lo jadi tidak sedih,” kata Fariz.

Dan kami pun mulai merencanakan perjalanan impulsif kami tersebut.

Meskipun tahun lalu negeri ini dilanda kemarau panjang, namun bulan November sudah masuk musim hujan. Orang-orang waras tidak akan mengiyakan ajakan kami, terlebih lagi karena persiapan yang begitu pendek, hanya sembilan hari.

Saya dan Fariz mulai mengumpulkan pasukan. Banyak yang tertarik untuk ikut. Saya merasa beruntung karena memiliki teman-teman yang cukup gila, namun karena berbagai alasan, banyak yang membatalkan partisipasinya. Ada yang sakit, ada yang tidak mendapatkan izin, dan ada yang harus bekerja. Akhirnya hanya Dhini, personel pendakian Semeru yang mungil namun tangguh dan Caweng, teman mendaki saya di Rinjani yang akan naik vespa dari Yogya yang resmi berpartisipasi dalam perjalanan kali ini. Saya yang saat itu sedang tidak stabil, mulai membaca tanda yang tidak-tidak.

Tiket kereta api ke Purwokerto tadinya banyak tersedia ketika kami merencanakan perjalanan ini. Itu membuat kami menunda-nunda untuk membelinya. Karena kami masih menunggu konfirmasi dari beberapa teman yang tertarik untuk ikut, namun belum bisa memastikan partisipasi mereka. Ketika personel sudah pasti, dan kami hendak membeli tiket kereta, tiba-tiba beberapa hari sebelum keberangkatan, mendadak semua tiket kereta habis. Tanda-tanda kedua. Namun, kami tetap bersikukuh. Kami tetap akan berangkat. Tidak bisa naik kereta, kami akan naik bus.

Jumat, 13 November 2015. Hari keberangkatan kami. Hujan mengguyur deras dari siang. Langit gelap dan kilat menyambar-nyambar membuat Jakarta begitu menakutkan. Belum lagi ancaman banjir dan macet. Kota ini boleh terlihat kuat dan tangguh, tetapi hujan deras, selalu saja berhasil membuatnya lumpuh.

“Na, ini kita random ya,” kata Fariz.

“Hujan deras, macet, cuma berempat doang, nggak dapat tiket kereta, ini kayak semesta menyuruh kita untuk mengurungkan niat, nggak sih?” saya mulai ragu. “Tetep berangkat, Riz?”

“Determinasi, Na. Lusa kita di puncak gunung,” jawab Fariz. “Kita tetap coba sebisa kita. Kalau memang sudah sampai sana dan nggak bisa naik, ya kita berhenti.”

Fariz dengan tas gunung besarnya datang ke kantor saya, untuk kemudian bersama menembus hujan, mencari taksi menuju Terminal Kampung Rambutan, yang kami tidak tahu di mana letaknya. Dhini meluncur dengan ojek, menggendong tas besar, melindungi diri dengan jas hujan. Caweng, berangkat dari Yogya, dengan vespa kesayangannya.

9bb104d8-8562-4543-9e58-d71bfcf52a38

Di Terminal Kampung Rambutan, kami disambut oleh calo-calo dan agen-agen yang sangat agresif.

“Ke mana Mbak?” kami dikerumuni.

“Bambangan,” kami menjawab.

“Bisa, bisa!” semua calo menjawab ‘bisa’, mencoba menggiring kami ke loket mereka masing-masing.

Tidak mengerti cara kerja terminal di Indonesia, kami memutuskan untuk mempercayai salah satu ‘agen’, membeli tiket bus yang katanya ‘lewat’ Bambangan.

Bus kami berangkat pukul 10 malam, mengarungi kemacetan kota Jakarta, dan harus diturunkan di tengah jalan, karena rupanya bus kami tidak menuju Bambangan, kami harus naik bus yang lain. Kami pasrah, sepertinya terlalu tegang dan lelah untuk mengeluh. Kami menyimpan tenaga, lebih banyak tidur untuk menghadapi Gunung Slamet di pagi hari.

*

Kami tiba di gerbang Desa Bambangan sekitar pukul 6 pagi, setelah menyusuri Kota Purwokerto yang berkabut. Turun dari bus kami mulai mempersiapkan diri untuk pendakian. Membeli air, sarapan, dan makan siang. Bersiap untuk segera berangkat. Caweng sudah sampai, menunggu kami di salah satu base camp yang tersedia.

74b32a6b-8b9f-46e9-8b16-0725def02a9b

Tanpa banyak ba-bi-bu, kami memulai perjalanan kami, menyusuri kebun bawang merah yang rupanya menjadi salah satu komoditi utama dari desa ini. Kemudian kami mulai mendaki, jalur tanah yang terus menanjak tanpa henti. Kami berhenti setiap pos peristirahatan, yang tidak seperti gunung lain yang pernah saya daki, selalu dijaga oleh warga lengkap dengan makanan dan minuman yang memanjakan kami. Semangka, gorengan, teh manis, jajanan-jajanan sederhana yang memberikan suntikan semangat, menjadi hadiah penyembuh sementara kelelahan kami.

08fff8d8-c1cd-4242-90d7-d17ff5d27e90

Sepanjang pendakian Fariz terus berkomentar, menahan geli sendiri, “Kita ngapain sih? Hujan-hujan begini itu, harusnya diam di kamar, makan mie rebus sambil nonton DVD, bukan naik gunung”.

Saya, Dhini, dan Caweng hanya bisa tersenyum, sadar atas kebenaran perkataan Fariz, namun tidak juga menyesali keputusan tidak logis yang kami ambil ini.

Kami terus mendaki hingga pos 3, hujan mengguyur, tapi kami tidak berhenti. Kami memutuskan untuk terus berjalan, supaya lekas sampai, supaya bisa beristirahat dengan lebih nyaman di tenda. Sekitar pukul 3 sore kami sampai di pos 3, mendirikan tenda, dan mulai menghangatkan diri dengan makanan perbekalan kami.

Perjalanan panjang dari Jakarta, dan Yogya untuk Caweng, serta jalur pendakian Gunung Slamet yang jarang memberikan jeda untuk beristirahat, membuat kami cukup kelelahan, dan memutuskan untuk beristirahat lebih cepat.

Pukul tiga pagi kami bangun, mempersiapkan diri untuk pendakian ke puncak. Sesering apapun kami mendaki, sebanyak apapun gunung yang telah didaki, pendakian menuju puncak tetap selalu mendebarkan. Melawan dingin, malas dan kantuk, berusaha menang atas was-was dan rasa takut, kami berempat keluar dari tenda dan memulai summit attack kami.

Konsisten dengan kecuramannya, Gunung Slamet tetap menantang kami hingga titik terakhir. Perlahan tapi pasti, dengan istirahat ‘lima menit, guys!’ yang diulang-ulang, kami terus mendaki Gunung Slamet hingga pos terakhir, di mana kami berhenti sejenak, sebelum sampai ke puncak, untuk menyaksikan terbitnya matahari.

Fariz memainkan musik dari ponselnya, ‘Here Comes the Sun’ – The Beatles, menyambut datangnya matahari pertama, 15 November 2015.

aa5f1bae-ff22-477a-a910-98ec7b7eaed5

“Bagus ya, mataharinya!” saya berkata penuh antusias, benar-benar terpana dengan semburat cahaya yang perlahan muncul, menghilangkan gelap yang sedari tadi membungkus kami dengan erat.

“Harusnya lo bisa kayak gitu setelah hari ini,” komentar Fariz, kembali mengingatkan saya akan tujuan saya naik gunung ini, yang sebelumnya sempat terlupakan, terdistraksi oleh rasa lelah, namun juga rasa nyaman sekaligus tidak nyaman yang selalu saya rasakan ketika mendaki gunung.

*

Puncak Gunung Slamet adalah salah satu medan favorit saya. Setiap pendaki pasti punya tipe medan kesukaannya masing-masing. Bisa jalur tanah, pasir, batu-batu besar, curam tapi pendek, memutar tapi landai, semua pasti memiliki preferensinya masing-masing. Saya sendiri, saya lebih suka merayap, menggunakan kaki dan tangan sebagai tumpuan di bebatuan sedang, yang tidak terlalu kecil, tidak terlalu besar. Puncak Gunung Slamet memiliki karakteristik yang pas untuk saya.

Kami mendaki sambil menikmati hangatnya matahari, yang merambat perlahan menggantikan dingin yang sempat membuat kami menggigil. Dengan langkah-langkah ringan, dari satu batu ke batu lain, dibantu oleh tangan yang mencari-cari tumpuan yang mudah diraih, meringankan langkah kaki.

b7ec6a44-e1ab-401f-9706-1f1194847313

Sampai di puncak, kami disambut oleh kawah yang menganga dan lautan awan. Pemandangan luar biasa yang secara instan selalu bisa menghilangkan lelah, nyeri, sakit, dan menyembuhkan luka-luka yang dirasakan para pendaki. Lega dan disambut, rasanya seperti pengelana yang memutuskan untuk pulang dan kembali diterima oleh orang-orang yang disayanginya. Mungkin itu yang membuat pendaki selalu ingin kembali, membayar rindu pada gunung yang sepertinya akan abadi.

eeb399c4-59d8-4bf0-bf65-26ec1c311cb9

e921e362-9148-4346-824a-fcb8cf4821a0

Setelah melakukan ‘kewajiban’ foto-foto di puncak, kami berempat duduk memandang lautan awan di hadapan kami. Fariz kembali memutar musik dari ponselnya, ‘I Will’ – The Beatles.

“Ayo teriak sekarang!” Fariz menantang.

Saya menggeleng. Saya tidak ingin berteriak ‘LIFE SUCK!’, karena hidup indah, penuh pelajaran berharga.

Saya hanya sedih. Dan kadang, kita membutuhkan sedih untuk dapat menyadari hal-hal lain yang penting dalam hidup kita. Jadi bukannya berteriak, saya malah menangis. Tidak meraung atau terisak, tetapi menetes, terjatuh pelahan dan disambut oleh pelukan Dhini yang hangat.

Selama beberapa saat, kami berempat duduk diam tanpa kata. Sibuk dengan isi kepala masing-masing yang entah apa. Berbeda dengan gunung-gunung tinggi yang megah, yang didaki untuk menguji diri, bagi saya, Gunung Slamet memiliki keistimewaannya tersendiri. Langkah-langkah yang berat, nafas dan degup jantung yang menderu, menahan keluarnya kata dan percakapan, membuat pendakian Slamet begitu tenang dan menenangkan. Membuat suara-suara dalam diri lebih jelas terdengar dan memberi kita kesempatan untuk mengerti dan memahami.

*

Kami turun dengan kelegaan tersendiri. Rencana impulsif ini berjalan lancar sejauh ini. Kami berjalan santai namun berharap sampai tidak terlalu sore, sehingga bisa mendapatkan bus yang mengantarkan kami sampai di Jakarta di pagi hari. Kembali ke pekerjaan dan aktivitas masing-masing seolah tidak ada yang terjadi.

0f84d51c-ae03-4097-9a5b-535ad19f6662

Hujan mengguyur, jalan tanah menjadi licin, membuat kami sedikit melambat, takut terpeleset. Kami tiba di perkebunan bawang merah, gerbang Gunung Slamet dari Desa Bambangan menjelang hari gelap. Kami membersihkan diri di rumah warga yang berbaik hati mengizinkan kami menggunakan kamar mandi mereka.

Kami mengucapkan selamat tinggal kepada Caweng yang akan kembali memacu vespa kesayangannya untuk kembali ke Yogya, melanjutkan studinya. Sementara saya, Fariz, dan Dhini, menunggu dengan sabar datangnya kendaraan yang akan membawa kami kami ke Terminal Purwokerto.

Kami sampai di terminal sekitar pukul sepuluh malam. Bus-bus agen besar sudah berangkat. Yang tersisa hanya bus-bus kecil dengan kredensial yang lebih jarang terdengar. Tidak ada pilihan lain, kami memilih bus yang berangkat paling cepat.

Dengan mesin yang tersendat-sendat, dengan kecepatan yang ‘seadanya’ bus kami melaju, namun sesekali batuk-batuk dan berhenti, mengantarkan kami sampai ke Jakarta. Tidak sesuai jadwal yang kami harapkan memang, tapi kami tetap bersyukur dapat kembali ke kota kami dengan selamat.

Kami berpisah di sekitar Kali Deres, Dhini naik taksi menuju tempat tinggalnya, sementara saya dan Fariz berbagi taksi. Saya sibuk mengirimkan pesan teks kepada bos dan rekan kerja saya di kantor, mengabari saya akan datang terlambat. Sementara Fariz, bulat memutuskan tidak akan pergi ke kantor, memutuskan akan makan di restoran padang mana setelah ini.

“Somehow, after all these, I feel okay,” saya mengaku.

We stole the moment,” jawab Fariz. “Setelah semua ini, kalau nanti lo teringat hari kemarin, bukan kesedihan karena kehilangan dia yang akan lo ingat, tapi capeknya kita naik gunung, hujan-hujanan, dan semua keputusan-keputusan bodoh yang kita ambil”.

Saya tersenyum, “Thank you!”

It’s okay. That’s what friends are for,” jawab Fariz.

*

Menutup perjalanan mendaki Gunung Slamet, gunung kedua tertinggi di Pulau Jawa, saya mengirimkan sebuah pesan kepada sahabat kecil saya. Sebuah paragraf di halaman terakhir buku Maya karya Ayu Utami yang pernah disuruhnya saya membaca.

“Ada cinta di mana kita tak menyentuh. Aku bersyukur karena mengenalmu. Sebentar lagi kubiarkan suratku ini diluruh api. Seperti segala percakapan di sini. Ada kesedihan sekaligus ketakjuban melihat kata-kata begitu lekas menjelma abu. Tapi kita sama-sama tahu, yang tertulis tetap tertulis”.

Slamet menempuh hidup baru.

Doaku untukmu!

Leave a comment