Cantik itu Luka, mengkristalkan racauan menjadi simbol dan mencairkannya membali melalui pemahaman bebas tanpa batas
Struktur
Kalau di Manusia Harimau saya begitu terpukau dengan struktur penceritaannya yang disiplin meskipun mengular seperti labirin, di buku ini saya terpukau dengan struktur cerita yang mengalir dengan begitu organik. Dari A kemudian ke G, kembali ke C, lalu ke Y, dan kemudian ke M. Lompatan waktu, setting, plot, tidak dipedulikan, tapi justru membuat ceritanya mengalir dengan sangat menarik. Seperti seorang sahabat yang bercerita ke sahabatnya, terdistraksi banyak hal, tapi tetap dapat dimengerti. Saya teringat kuliah Adam Johnson di Sydney Writers Festival dulu, katanya orang dengan trauma cenderung bercerita dengan tidak terstruktur dan menggunakan banyak simbol untuk mengurangi rasa sakit akibat traumanya. Mungkin Eka juga bermaksud demikian.
Sejarah
Novel ini sangat luar biasa dalam membahas sejarah republik ini. Mengambil rentang waktu empat generasi, novel ini adalah saga yang merangkum masa-masa penting yang dialami negara Indonesia, meskipun dengan cerdas tidak benar-benar dibahas sebagai sebuah bangsa, sehingga tidak perlu dikritisi secara rinci, melainkan disimbolkan dengan sebuah daerah fiktif bernama Halimunda yang entah di mana.
Karakter
Saya melihat karakter-karakter di novel ini sebagai simbol. Tokoh-tokoh perempuan (terutama yang berada di garis keturunan Dewi Ayu, baik sebelum maupun sesudah) sebagai representasi Indonesia, bumi pertiwi, sementara tokoh-tokoh laki-laki sebagai simbol-simbol penguasa yang pernah “menguasai” negeri ini. Hubungan perempuan-lelakinya juga begitu kompleks. Ada cinta, obsesi, pemaksaan, perlawanan, penerimaan, kekecewaan, dan kepasrahan. Hubungan yang tidak hitam putih, politik saling benci saling membutuhkan, semuanya kaya dan membaur dengan luar biasa di novel ini.
Feminisme
Saya teringat seorang mahasiswa sastra yang datang ke Makassar International Writers Festival, yang berencana membahas unsur feminisme di novel ini untuk bahan tesisnya. Saya rasa, novel ini memang membahas banyak persolan perempuan secara satir dan layak diulas lebih dalam.
Perempuan yang diperkosa silih berganti oleh penguasa rezim yang juga silih berganti ketika kondisi negeri ini masih belum stabil, menggelitik pemikiran kritis, mengapa simpang siur kekuasaan politik selalu mengikutsertakan pemerkosaan dan pelecehan seksual kepada perempuan?
Kritik sosial mengapa perempuan yang diperkosa oleh laki-laki harus dinikahkan dengan laki-laki pemerkosanya disebut berkali-kali di buku ini, seperti berusaha menyadarkan masyarakat, ITU BUKAN SOLUSI! Hal tersebut bahkan malah akan menimbulkan trauma dan masalah-masalah baru bagi sang perempuan.
Kekerasan dan pemerkosaan suami terhadap istri (hubungan badan yang dipaksakan tanpa persetujuan dari istri) juga ditulis secara vulgar dan visual, seolah ingin menyadarkan pembaca kalau perbuatan tersebut bukanlah sesuatu yang dapat dimaklumi.
Kritik terhadap persepsi cantik-jelek dan kondisi fisik perempuan di tengah masyarakat juga sangat menggelitik dan membuat saya berpikir.
Mistis dan Absurditas
Di buku ini Eka Kurniawan berbicara dalam simbol. Hantu, roh jahat, jalangkung, orang sakti yang moksa, mayat yang harum, semua ditulis dengan bebas seolah berceloteh tanpa arah. Saya rasa tidak ada formula benar salah khusus untuk mengartikan simbol-simbol yang digunakan Eka Kurniawan, semua bebas diartikan semau pembaca.
Eka Kurniawan, sekali lagi, Anda telah membuat saya tidak hanya jatuh hati, tetapi jatuh cinta ~