//Dira//
Lobby Senayan City, Jakarta
21.07 WIB
IDR 7,500
Sebuah taksi berwarna biru akhirnya berhenti di depan kami. Bak jodoh yang telah sama-sama mencari dan menanti, aku, Delta, dan taksi dengan nomor DD2001 dipertemukan malam itu. Lepas pukul sembilan malam seperti ini, memang taksi-taksi selalu berjajar rapi, bergantian menjemput penumpang yang juga telah mengantri, menunggu giliran untuk diantar pulang ke tempat tinggal masing-masing. Seorang petugas berseragam membukakan pintu dan mempersilakan kami masuk setelah menandai buku catatannya dengan kode-kode tertentu yang tidak berhasil kuintip.
“Terima kasih,” ujarku sopan sambil bergeser duduk, menyisakan tempat untuk Delta di sebelahku, di bagian belakang taksi.
Delta mengangguk, memberikan gestur hormat kepada sang petugas, kemudian menutup pintu tanpa kata.
“Tujuan akhir ke Cinere, tapi lewat Ciragil dulu ya, Pak!” ujarku.
“Baik, Mbak!” jawab sang pengemudi menyanggupi, sambil menekan sebuah tombol di mesin argo, menandai dimulainya perjalanan kami.
Taksi di kota ini dicat dengan banyak warna. Semua punya nama dan representasi citra masing-masing. Namun bisa dibilang warna biru adalah juaranya. Jika pulang lebih dari jam sembilan, memilih si warna biru sedikit memberikan rasa aman, meskipun mungkin hal tersebut hanyalah sugesti belaka.
Hari itu kami bertemu tidak untuk mensingkronisasi otak dan berbicara ngalor ngidul sampai pagi tiba, seperti yang biasa kami lakukan. Hari itu kami bertemu untuk urusan professional. Aku meminta bantuan Delta untuk menjadi ilustrator buku anak-anak yang sedang aku kerjakan bersama komunitas non-profit-ku. Permintaan yang aneh, mengingat Delta bukanlah seorang ilustrator. Memang, sejak kecil, sejak pertama kali aku mengenalnya, Delta sangat suka menggambar. Namun sebagai seorang arsitek muda yang tengah menapaki karirnya, Delta pasti luar biasa sibuk dengan proyek-proyek dari firma tempatnya bekerja. Tetapi seperti biasa, Delta selalu siap membantu. Tanpa pamrih, tanpa banyak bertanya.
Delta terlihat gelisah, seperti sedang banyak pikiran. Namun tidak terlalu kuambil pusing sikapnya tersebut. Ia memang seperti itu. Semua hal dipikirkannya dan dipendamnya sendiri. Sudah lebih dari sepuluh tahun aku jadi teman baiknya, tetapi belum juga hilang rasa segannya ketika membagi cerita denganku.
Kualihkan pandanganku ke jendela, mengamati mobil-mobil yang sedang berjajar diam, menunggu lampu merah berganti hijau, memberikan izin kepada mereka untuk kembali melaju.
“Dira,” panggilnya.
“Ya,” jawabku. Kembali kupandangi sosok kurus, tinggi, dan sedikit canggung yang telah kukenal lebih dari setengah umurku tersebut.
“Bulan November aku akan menikah,” ujarnya pelan.
Ia tidak menunduk. Tatapannya tidak kosong, tidak nanar, juga tidak menerawang. Namun sepertinya tidak berhasrat pula ia memandangku di saat-saat seperti ini. Ia melihat ke satu titik, tidak terlalu jauh, tidak terlalu dekat. Entah apa yang ada di kepalanya. Mungkin rasa bersalah, mungkin juga iba. Bahasa tubuhnya mengindikasikan bahwa ia tidak siap dan menolak untuk bertanggung jawab pada aku yang telah kehilangan kata.
Sebuah perasaan yang belum terdefinisikan mengalir pelan mengisi dadaku, menyesakkannya. Rasanya kesedihan belum datang saat itu. Porsi terkejut mungkin masih lebih besar. Emosi tanpa label menguasaiku. Rasionalitasku masih berkelana, sepertinya lupa jalan pulang. Pikiranku melayang-layang, perlahan tapi pasti menghampiri masa lalu. Bergerak tanpa kontrol dari satu titik ke titik yang lain, mengunjungi tumpukan memori lebih dari satu dekade yang berisi kekaguman yang mutual, cerita dan cita, kebutuhan dan kebergantungan, serta kepemilikan dan rasa takut kehilangan antara aku dan Delta.
Aku teringat analogi bodoh yang pernah kutanyakan padanya dulu. Sebuah pemberhentian pertama dari perjalanan ingatan yang bergerak mundur di kepalaku.
“Bayangkan kamu berada di mulut goa. Kamu tidak tahu seberapa dalam dan seberapa gelap goa tersebut. Kemudian kamu diberi kesempatan untuk mengambil sejumlah lilin sebagai bekal kamu di dalamnya. Berapa lilin yang kamu ambil? Dan apa alasannya?” tanyaku.
“Dua,” jawabnya. “Tanganku hanya dua. Aku asumsikan aku tidak diperbolehkan membawa tas atau apapun, hanya dua lilin yang bisa aku pegang tanpa menimbulkan permasalahan baru. Toh, aku tidak butuh banyak lilin. Aku percaya, begitu nyala keduanya padam, mataku sudah akan terbiasa menatap dalam gelap,” lanjutnya.
“Hmmm, jawaban yang menarik,” ujarku, mengangguk-angguk seperti sedang menganalisis dengan serius. “Analogi ini artinya jumlah manusia yang bisa kamu cintai dalam satu waktu.”
“Hahaha, kamu selalu aneh,” ia tertawa. “Tapi bisa jadi. Menurutku dua itu angka yang pas untuk membagi hati. Saling mengisi, namun cukup aman untuk dipertanggung jawabkan.”
“Dasar!” cibirku.
“Berapa lilin yang kamu bawa?” tanyanya.
“Satu,” jawabku. “Aku takut apinya menyulut kebakaran. Atau lilinnya menetes melukai tanganku. Atau mengusik makhluk yang mungkin tinggal di dalam goa. Lilinnya akan kupegang saja, tidak kunyalakan. Jika keadaan darurat, baru akan kunyalakan lilin itu.”
“Bahkan dengan lilin pun kamu tidak bisa percaya, ya!” komentarnya. “Tidak ingin kau gantungkan hidupmu pada apa pun dan siapa pun, rupanya.”
“Bisa jadi,” kataku.
*
//Delta//
Jalan Hang Tua, Jakarta
21.15 WIB
IDR 12,500
Selalu ada hawa canggung jika aku bepergian dengan taksi. Kendaraan ini katanya umum, tapi tidak bisa benar-benar dibagi, tidak dapat digunakan beramai-ramai dengan orang-orang asing. Namun ia tidak pula terasa hangat dan familiar layaknya kendaraan pribadi. Ia tidak terkesan tangguh, tahan banting, tetapi terjangkau layaknya kendaraan umum lainnya. Namun tidak pula bisa memberikan kebebasan sepenuhnya kepada para penumpangnya layaknya kendaraan pribadi. Serba tanggung, membuat canggung.
Setelah memuntahkan bom yang selama ini kupendam, kini gelisah datang. Apakah sudah benar apa yang kulakukan? Apa yang ada di kepala Dira? Apa yang dirasakannya? Apa yang akan dikatakannya?
Suasana canggung di dalam taksi menular, merambat menyelimuti aku dan Dira. Sudah beberapa menit berlalu sejak aku memberitahukan kabar pernikahanku dengan Deria, namun tidak ada reaksi darinya. Tidak ada ucapan selamat, senyum lebar, ataupun antusiasme yang biasa ia berikan jika kubagi kabar bahagia dengannya. Aku pun entah mengapa merasa begitu berat ketika menyampaikan berita ini padanya tadi.
Aku menunggu Dira berkata sesuatu. Tapi nihil. Jalanan kota Jakarta yang ramai hiruk pikuk malam ini terasa sunyi, seolah ada yang menekan tombol bisu. Tidak satu patah kata pun keluar dari bibirnya. Tidak juga dariku. Pikiranku menerawang mundur menembus waktu, menuju masa-masa kedekatan dan kebergantungan antara aku dengannya.
“Nanti pasti kubaca ada namamu di koran, menjadi orang Indonesia pertama yang memenangkan Pulitzer Prize,” komentarku setelah membaca blognya.
Sejak SMA Dira sudah rajin menulis blog. Tulisannya menarik. Aku selalu suka membacanya. Ia membahas banyak hal dalam blognya. Cerita sehari-hari, kritik sosial, catatan perjalanan, ulasan film, semua hal dikomentarinya. Banyak blog yang kuikuti, namun celoteh dalam bentuk tulisannyalah yang selalu kunanti.
Dira ingin jadi penulis. Tapi katanya hanya akan aman dirimu secara finansial jika jurusan teknik, ekonomi, atau kedokteran yang kau pilih saat duduk di perguruan tinggi. Aku tak terlalu peduli dengan itu. Dari kecil aku suka menggambar, dan aku selalu ingin menjadi arsitek. Tapi Dira sepertinya percaya akan hal itu. Dipilihnya jurusan teknik, salah satu yang terbaik kata orang-orang, dan di situlah dimulai kedekatan kami.
Melalui internet, si abstrak yang bisa menghubungkan yang jauh, Dira, di Bandung yang muak dan ingin menjauhi lingkungan kuliahnya jadi sering melarikan diri kepadaku, teman lama tanpa rupa yang hanya berkedip-kedip menemaninya di layar laptop atau ponsel. Aku, si anak desa dari Wonosobo yang baru pertama kali merantau di Surabaya pun sangat menikmati kehadirannya, meskipun hanya di dunia maya.
Dira suka musik yang kritis, aku pun demikian. Aku suka buku-buku kiri, Dira pun mengagumi konsep sosialis. Dira begitu fasih memuja sekaligus mencerca film, aku pun betah duduk diam menatap layar, merekam detail, dan meresapi makna dari film. Aku selalu membela tim sepak bola kesayanganku dengan urat dan hati, Dira pun sering kali sama ngototnya. Kami saling meracuni dengan rekomendasi, dan tak kenal lelah kami berdiskusi saling menimpali tentang topik-topik random, sepanjang hari, sepanjang malam.
Dira suka begadang. Dia lebih bernyawa jika malam semakin pekat. Pernah kubuatkan ilustrasi dia sebagai sosok wanita penguasa malam yang suka menghisap darah. Dira yang sulit memahami kiasan dan haus akan penjelasan, bertanya apa maksudnya. Aku, si introvert, yang sebenarnya terkuras energinya jika harus terus menerus menanggapinya, selalu tidak kuasa menolak. Bahkan terkadang menikmatinya.
Dira adalah gadis yang kritis, logis, berpikiran terbuka, dan penuh percaya diri. Dia selalu punya banyak pertanyaan dan tidak pernah kehabisan opini tentang banyak hal. Bahkan terkadang ia juga punya insting yang luar biasa, hampir selalu benar.
“Sepertinya, perempuan yang bernama Deria ini mencintaimu,” ujarnya suatu kali.
Deria adalah teman kampusku. Kami saling mengenal, tapi tidak terlalu dekat antara satu dengan yang lain.
“Kenapa kamu berkata demikian?” tanyaku. Dira tidak mengenal Deria secara langsung. Mereka hanya sering berpapasan di platform sosial media. Sangat sok tahu jika dia menyimpulkan hal ini.
“Insting wanita!” jawabnya asal.
Aku yang sebelumnya tidak pernah terlalu memperhatikan kehardiran Deria, sejak komentar Dira tersebut jadi sedikit penasaran. Aku yang pemalu dan biasanya enggan mendekat, mulai menurunkan pagar pengamanku, dan sedikit-sedikit mempersilakan Deria masuk.
Hingga sekarang. Hingga Deria akhirnya resmi menjadi calon istriku.
Deria selalu ‘awas’ terhadap interaksiku dan Dira. Ia terkadang protes, mengapa pembicaraanku dan Dira selalu lebih ‘hidup’ jika dibandingkan dengan pembicaraan kami berdua. Aku sendiri tak tahu mengapa. Hanya dengan Dira, waktu mengalir tanpa terasa. Topik datang silih berganti, tanpa harus digali, tanpa harus dipancing.
Aku selalu memiliki keraguan terhadap pernikahan. Aku tidak suka dengan konsep keterikatan dan aku takut akan tersiksa karena rasa bosan. Aku takut pernikahan nantinya akan dipenuhi oleh masalah-masalah operasional dan kehilangan jiwanya, terus bergerak maju, tapi tanpa makna. Aku ingin pernikahan yang ‘hidup’, yang penuh dengan diskusi tentang ide dan isu-isu di dunia ini. Aku tidak ingin bahagia jadi kata yang mendefinisikan pernikahanku. Karena bahagia bisa saja tanpa makna. Aku ingin pernikahan yang membuat hidup menjadi lengkap dan penuh makna.
Bayangan Dira selalu terbersit. Bersama dengan penginapan sederhana milik kami berdua di tepi sungai. Kami akan menyapa hangat para pelancong yang datang, memberi mereka pelayanan yang menyenangkan, dan sesekali mencuri waktu duduk di pinggir sungai untuk membaca buku berdampingan. Dira mungkin akan membaca kumpulan cerpen Jhumpa Lahiri kesukaannya untuk kesekian kalinya, dan aku mungkin akan membaca buku aneh tentang pesawat atau biografi tokoh-tokoh nyeleneh. Kami akan mengisi waktu kami dengan berdiskusi tanpa henti. Membicarakan ide, saling menginspirasi, hingga tidak perlu terlalu pusing memikirkan kegiatan operasional sehari-hari.
Itu ada di kepala. Tapi tidak pernah kuungkapkan padanya. Aku tidak bisa membaca Dira. Aku takut kehilangan dia jika aku salah langkah. Aku tidak mau hal itu terjadi.
Dan kuharap aku tidak kehilangannya karena pengumuman pernikahanku barusan.
*
//Dira//
Masjid Agung, Jakarta
21.25 WIB
IDR 20,500
Pak Tanto, pengemudi taksi kami dari tadi hanya diam. Sepertinya kekikukanku dan Delta menular, membungkam semua orang yang ada di taksi biru ini.
Aku suka mengobrol dengan pengemudi taksi. Aku suka perasaan terkungkung dalam waktu terbatas bersama orang asing. Itu memberiku kebebasan untuk bercerita dan mendengar cerita. Karena aku tahu cerita itu akan aman. Tersimpan dengan baik di benak masing-masing, baik si pendengar maupun si pencerita.
Aku pernah mendapatkan resep chicken teriyaki yang luar biasa enak dari seorang pengemudi taksi. Pernah juga ada pengemudi yang meminta nomor teleponku, dan memintaku mengajarinya Bahasa Inggris setiap akhir pekan karena dia sering merasa digunjingkan oleh penumpang dengan Bahasa Inggris, dan ia ingin tahu apa artinya. Cerita tentang istri yang selingkuh, keluhan politik, dan problematika kriminalitas di Jakarta adalah beberapa topik standar yang sangat sering muncul. Aku suka perasaan dekat dan intim ketika obrolan itu terjadi, namun tetap merasa aman karena tahu pembicaraan itu pada satu titik akan berakhir tanpa kelanjutan apapun.
Mungkin itu yang membuat aku dan Delta dekat. Kami selalu hidup di kota yang berbeda. Chat, SMS, e-mail yang saling kami kirimkan secara teratur dan intens terasa seperti layaknya kotak terkungkung yang terasa begitu aman bagiku. Aku bisa menceritakan banyak hal yang tidak kuceritakan pada orang lain padanya. Aku bisa membagi ide, cerita, dan segala hal yang menyesaki kepalaku kepadanya. Aku merasa sangat nyaman dengan hubungan kami. Dekat, hangat, bahkan saling bergantung, tapi berjarak dan tidak mengikat.
Pernah ia bilang, “Kalau kita tinggal di satu kota, pasti kita sudah menjadi sepasang kekasih”.
Secara logis aku membenarkan pernyataannya itu. Kami berbicara dengan bahasa yang sama, memiliki mimpi yang tidak jauh berbeda, dan memiliki keterhubungan intelektualitas di tingkat yang sama. Hanya jarak yang bisa dijadikan alasan mengapa komitmen tidak boleh tumbuh. Hanya jarak yang bisa dipersalahkan dan dijadikan sebagai exit strategy olehku yang pengecut ini.
Apakah aku ingin menjadi kekasih Delta? Entahlah. Menurutku hubungan romantis yang dikekang dengan komitmen memiliki momok tersendiri. Aku takut hubungan serius. Aku takut dengan konsep pernikahan.
Semua orang menikah yang aku kenal selalu mengeluh. Tidak ada yang tampak tulus bahagia. Bahkan, pernikahan yang melahirkan aku pun, pernikahan papa dan mama harus terhenti dan berakhir begitu saja.
Aku takut dengan komitmen dan intimasi. Aku takut janji setia dan saling menerima kelebihan dan kekurangan satu sama lain itu pada satu titik di satu masa akan rusak, akan jatuh tempo, akan kadaluarsa. Aku takut ditinggalkan dan dikecewakan. Tapi terlebih lagi, aku takut mati bosan.
Sempat terpikir di benakku, jika harus kumenikah nanti, aku akan memilih orang yang paling tidak menyebalkan di dunia ini. Orang yang bisa tahan dengan keanehanku dan pola pikir ajaibku, tanpa banyak protes. Aku tahu tidak ada orang yang sempurna di dunia ini. Aku tahu manusia punya cacatnya masing-masing. Tapi aku takut aku tidak bisa tahan dengan kekurangan-kekurangan pasanganku kelak. Aku takut aku akan meledak, pergi menjauh, dan meninggalkan komitmen tanpa arti. Aku butuh orang yang kemenyebalannya minimal untukku, bisa kutolerir. Sehingga tidak ada alasan bagiku untuk pergi.
Ketika pikiran ini berkelebat di kepala, sosok Delta-lah yang muncul. Lima belas tahun kita berteman, dia selalu dapat menerimaku tanpa banyak ba-bi-bu. Ia selalu memberikanku kejutan manis dan selalu bisa kuandalkan kapan pun dan untuk urusan apa pun. Aku pun nyaman di dekatnya. Tidak pernah muak dan meledak kesal dibuatnya.
Tapi peduli setan dengan pikiranku. Tak pernah kudengarkan dia. Delta bukan kekasihku, aku bukan kekasihnya.
*
//Delta//
Trunojoyo
21.45 WIB
IDR 27,500
Ciragil sudah dekat. Sebentar lagi taksi biru ini akan berhenti. Membebaskanku dari kecanggungan ini, namun menghantuiku dengan rasa sesal. Karena kebodohan dan kepengecutanku, aku akan kehilangan Dira.
Dira adalah orang paling menarik yang pernah kukenal. Ia sangat baik, ia selalu ada untukku. Meskipun ia jauh dan terasa tidak nyata bagiku.
Aku yang pendiam dan pemalu ini, tidak pernah menceritakan hal pribadiku kepada siapa-siapa. Kalaupun harus, akan kupisah-pisah ceritaku. Tapi dengannya semua bisa keluar begitu saja. Begitu hidup. Begitu dekat.
Tetapi Dira begitu abu-abu. Tak tahuku apa yang dia mau. Ketika rasa tertarik menghampiriku, hanya diam yang bisa kulakukan. Aku tidak suka meraba-raba sesuatu yang tidak pasti, sesuatu yang tidak kubenar-benar kutahu. Aku tidak berani mengambil resiko kalau dengannya. Karena taruhannya terlalu berharga. Dan aku tidak bisa kalah untuk hal ini.
Pernah ia bertanya, “Selama lebih dari sepuluh tahun kita berteman, apakah kamu pernah menaruh hati padaku?”
Aku terkejut. Aku tak tahu jawaban ‘benar’ apa yang harus aku sampaikan.
“Kenapa bertanya demikian?” tanyaku. Mencoba mengulur waktu.
“Aku hanya ingin tahu,” jawabnya.
“Bagaimana denganmu? Pernahkah kamu menyukaiku?” tanyaku mengembalikan pertanyaan tersebut kepadanya.
“Mungkin pernah, tapi belum kusadari,” jawabnya santai.
“Hemmm,” aku menganalisis jawabannya yang diplomatis. “Mungkin aku juga begitu,” aku memilih jawaban aman.
Saat itu aku dan Deria sudah semakin dekat. Obrolan pernikahan belum muncul, tapi hubungan kami sudah mulai stabil. Deria sudah tidak pernah mempermasalahkan kedekatanku dengan Dira lagi. Ia sudah dapat menerima bahwa Dira adalah bagian penting dalam hidupku yang tidak bisa dan tidak mau aku singkirkan.
Dira tahu perkembangan hubunganku dan Deria ini. Oleh karenanya aku sedikit heran mengapa dia menanyakan pertanyaan ini. Dan mengapa baru sekarang-sekarang ini dia menanyakannya.
Sepertinya jawabanku saat itu salah bagi Dira. Ia menjauh. Hubungan kami merenggang.
Dira hanya menghubungiku untuk masalah-masalah proyek. Aku merasa kehilangan teman baikku. Aku merasa hubungan kami berubah dari dua orang teman baik yang saling bergantung dan saling membutuhkan, menjadi hubungan antara buruh gambar dan majikannya. Aku sedih.
Deria menjadi pelarianku. Aku mencoba mendekati Deria, namun kali itu tidak sebagai pasangan yang membahas permasalahan sehari-hari, tetapi sebagai seorang sahabat yang membahas isu dan ide tentang dunia dan seisinya.
Dan secara ajaib Deria bisa menjalankan peran sebagai teman baik ini dengan sangat luar biasa. Aku sangat terkejut. Harusnya aku bertukar saling menyambung isi kepala ini dengan Dira, bukan dengan Deria. Harusnya.
Karena hal ini, aku merasa Deria tidak punya lagi kekurangan apa pun. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak meningkatkan level komitmen kami ke jenjang selanjutnya. Karena hal ini lah aku pergi melamar Deria dan berjanji akan menikahinya.
*
//Dira//
Ciragil
22.15 WIB
IDR 32,500
Taksi berhenti di depan rumah kos Delta. Semenit, dua menit, namun tidak ada di antara kami yang bergerak.
Bisa saja kuberusaha mentranslansikan sesak di dada yang belum terdefinisikan ini, meluapkan semua emosi, bahkan memintanya ikut menjelaskan apa arti perih yang belum pernah kurasakan sebelumnya ini.
Ia pasti mau. Ia selalu meluluskan permintaanku.
Bisa saja kutanyakan apa maunya, apakah ia yakin dengan keputusannya, serta apakah itu sudah final dan tidak dapat diganggu gugat lagi.
Ia pasti ragu. Ia pasti kelabakan menjawab pertanyaanku.
Bisa saja.
Tapi tidak kulakukan.
Di titik ini aku memiliki dua pilihan. Aku bisa memberi selamat, doa restu, dukungan, dan senyum bahagia sebagai seorang teman baik, atau menjadi wanita bodoh yang selama ini tak sadar dengan perasaannya terhadap benda miliknya yang berharga, sehingga tidak benar-benar merawat dan menjaganya, namun ketika hendak dimiliki orang lain, merengek tanpa harga diri, berusaha mempertahankannya.
Aku memilih yang pertama.
Biar bagaimana pun juga, Delta adalah teman baikku. Dia berhak diperlakukan dengan baik.
Kuingat perkataan Delta dulu, “Ada dua hal yang kucintai di dunia ini. Film dan arsitektur. Arsitektur itu ibaratnya seperti istri, aman jika dijadikan istri. Bisa dijadikan sebagai mata pencaharian. Sementara film dapat dianalogikan sebagai gadis penggoda. Aku mencintainya, tapi hanya dapat mengisi waktu luangku saja.”
Aku hanyalah si film.
Aku harus bungkam.
Aku tidak pantas mengacaukan hidupnya.
“Selamat ya, Ta!” seruku. “Semoga kalian berbahagia,” tambahku, menyelesaikan kewajibanku sebagai teman baiknya, mencoba mengusirnya turun dari taksi.
“Terima kasih, Dira!” ujarnya sambil bersiap turun dari taksi. Ia tampak sedikit terkejut karena akhirnya aku memecahkan kesunyian yang menyiksa ini. “Aku duluan! Hati-hati di jalan!” tambahnya.
Mengakihiri perjalanan taksi malam itu.